Jakarta, Aktual.com – Ibarat kesebelasan sepakbola, tim Joko Widodo telah menyiapkan pemain cadangannya lebih dari cukup. Terlebih ada 10 daftar nama yang siap kapan saja dimasukan, bila tim dari Prabowo Subianto memunculkan pemain yang memang memiliki nilai dalam pesta demokrasi 2019 nanti.

Begitulah gambaran Pilpres 2019, dimana kedua tim ini masih saling menunggu untuk menunjukan kekuatan dalam pertarungan 2019 nanti. Tim Joko Widodo tampaknya tengah mengukur kekuatan dari tim Prabowo Subianto, begitu juga sebaliknya.

Mengapa demikian? Karena tim Joko Widodo diketahui saat ini elektabilitasnya tidak sampai di level 40. Itu artinya, saat ini Joko Widodo tengah mengukur siapa pemain yang akan dia pilih yang bisa mendongkrak namanya di pertarungan 2019 nanti.

Lembaga Media Survei Nasional (Median) misalnya telah mendapati elektabilitas Joko Widodo untuk terpilih kembali di pemilu nanti hanya 35,7 persen. Berdasarkan survei itu juga, persoalan ekonomi dan politik identitas agama menjadi penyebab elektabilitas Jokowi tak tembus 40 persen.

“Elektabilitas Jokowi tak beranjak di angka 35,7 persen,” kata Direktur Riset Median Sudarto di bilangan Cikini, Jakarta, Senin (23/7).

Elektabilitas itu berdasarkan pertanyaan: jika pemilihan presiden dilakukan saat ini, siapakah yang yang akan pilih menjadi Presiden RI? Itu artinya suara masyarakat saat ini untuk memilih Joko Widodo tergerus. Terlebih persoalan ekonomi dan kesejahteraan yang cukup serius tak bisa teratasi oleh Jokowi.

Hal-hal yang disoroti terkait isu ekonomi dan kesejahteraan adalah kemiskinan, lapangan kerja, sembako mahal, BBM mahal, tarif listrik mahal, dan utang negara. Jika dikelompokkan dalam satu klaster, jumlah responden yang tak puas dalam isu ekonomi dan kesejahteraan ini mencapai 42 persen.

Lalu perihal menguatnya politik identitas belakangan ini, Sudarto melihat Jokowi pun mengalami hal yang sama. Dalam survei Median mayoritas responden mengaku lebih lekat dengan identitas keagamaan dibanding identitas lain seperti identitas suku, nasional dan identitas regional.

Itu artinya identitas politik agama ini bakal terus menguat sampai pemilu tahun depan. Pasalnya dalam survei mereka, responden yang ingin politik dan agama tak dipisahkan sebesar 43 persen, sedangkan mereka yang ingin agama dan politik dipisah hanya 33,9 persen saja.

“Maka dari itu pertimbangan utama Cawapres dari Jokowi harus yang menguasai dua isu tadi sehingga persepsi negatif Pak Jokowi bisa berkurang,” ujar dia.

Survei Median ini memakai jawaban dari 1.200 responden yang tersebar di semua provinsi. Margin of error dari sampel mereka sekitar 2,9 persen. Metodologi yang digunakan adalah multistage random sampling. Median melaksanakan survei ini pada 6-15 Juli 2018 dengan tujuan memetakan kompetisi Pilpres 2019.

Survei Median tak berbeda jauh dengan survei terbaru Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam survei LIPI, elektabilitas Jokowi juga masih di bawah angka 50 persen berdasarkan versi pertanyaan terbuka. LIPI membuat dua versi pertanyaan terkait preferensi Capres kepada 2.100 responden. Pada versi pertanyaan terbuka, Jokowi dipilih oleh 45 persen responden.

Survei LIPI ini dilakukan dengan metode multistage random sampling di 34 provinsi, pada 19 April – 5 Mei 2018. Margin of error nya mencapai 2,14 persen. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap dan kuesioner.

Bila terjadi demikian, itu artinya tim dari Joko Widodo harus memilih calon wakil presiden yang memiliki nama yang kuat di pertarungan nanti. Terlebih,10 orang yang masuk bursa di tim Joko Widodo yakni, Ketua Umum PPP Romahurmuzy, KH Ma’ruf Amin, Din Syamsudin, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau cak Imin, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartato, Mahfud MD, Moeldoko, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti dan Chairul Tanjung sudah dimunculkan.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Sutanto misalnya, dipilih Joko Widodo untuk mengimbangi lawan bila tim dari Prabowo Subianto “menggaet” kalangan ekonom sekaligus memiliki latar belakangan pengusaha. Kemudian Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang diklaim memiliki pendukung dari basis NU.

Selanjutnya Moeldoko yang juga masuk deretan Cawapres di tim Joko Widodo. Masuknya Moeldoko yang merupakan mantan Panglima Jenderal TNI tentu bukan semata-mata hanya dimasukan, karena yaitu tadi untuk mengimbangi permainan bila tim dari Prabowo Subianto memasukan kalangan TNI.

Memang the power party atau parlement power tim Joko Widodo kuat ditopang enam partai koalisi yakni PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dan PKB. Sedangkan kekuatan Prabowo hanya mengadalkan PAN, Demokrat (bila serius) dan PKS. Tapi jika kesepakatan terjadi antara PD-Geridra bisa saja koalisi ini berubah.

Memang bila head to head kekuatan individu dan grup masih unggul di Jokowi. Tapi Gerindra diuntungkan dalam survei menempati posisi kedua di bawah PDI-P. Memang grup Jokowi leading mulai preperation sampai summary.

“Nah! Prabowo punya the good an best way yaitu bisa transfering tokoh nasional atau ada alternatif lain. Jika pasanganya Zulkifli sama saja duel 2014 lalu Prabowo-Hatta. Keduanya sama-sama bermain politik wait and see tunggu dan lihat siapa calon lawan mereka. Tapi jika seperti ini barangkali berakibat fatal dan merugikan Prabowo,” kata Peneliti Indonesia Public Institute (IPI) Jerry Massie, Rabu (25/7).

Jadi, kata dia, bila Prabowo sudah memiliki pendamping untuk maju di Pilpres 2019, maka saran dia, Prabowo menyimpannya saja terlebih dahulu. Dia pun meminta agar Prabowo tak melakukan komunikasi politik yang berkempanjangan. “Waktu habis tersita dengan approaching political atau pendekatan politik. Koalisi tim Prabowo masih kabur, harusnya kesepakatan koalisi dulu nanti step berikut nama calon. Bukan digantung, agak kalah start semakin baik persiapannya maka akan baik pula saat bertarung,” kata dia.

Tiga Calon Bisa Gerus Suara Jokowi (Halaman Selanjutnya…)