Jakarta, aktual.com – Emil Salim, mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di era Orde Baru, menceritakan perbedaan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Presiden Soeharto dalam menanggapi kritikan. Respons pemimpin dalam menanggapi kritik dinilai bisa menjadi salah satu ukuran untuk mendukung perkembangan bangsa dan negara ini.

Emil Salim mencontohkan dalam hal rencana pemindahan ibu kota, dia secara khusus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kritik dan saran. Menurutnya, pemerintah harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi negara dan rakyat.

“Saya berposisi demikian, alasan pindah ibu kota menurut Bappenas saya anggap keliru. Maka saya merasa perlu untuk memohon pada Presiden mendengar pandangan lain,” katanya di Jakarta, ditulis Kamis (29/8).

Menurut dia, saran dan kritik yang disampaikan pihak luar terhadap pemerintah, jangan diinterpretasikan sebagai upaya menentang pemerintahan. “Kalau ada beda pendapat dengan Bappenas, bukan berarti menentang pemerintah,” ujarnya.

Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup era Presiden Soeharto ini lalu membandingkan bagaimana Soeharto dengan legowo menerima kritik para ekonom mengenai kondisi perekonomian saat itu. Dia bercerita, suatu ketika di hadapan sidang DPR, Soeharto mengeluarkan janji politik untuk tidak melakukan devaluasi rupiah. “Semua tepuk tangan,” ujar Emil.

Namun, akibat janji tersebut berimbas pada menciutnya devisa negara. Nilai tukar rupiah tidak realistis. Salah satu jalan keluarnya rupiah harus dievaluasi.

Sayangnya, Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan tidak ada yang berani mengambil jalan devaluasi. Mereka ngotot tak melakukan devaluasi karena janji Soeharto di hadapan DPR itu.

Lantas, lanjut Emil, berkumpulah beberapa ekonom. Mereka mendiskusikan, kalau karena janji presiden kemudian rupiah merosot terus, ekonomi negara semakin rusak. “Apakah otak sehat ilmu ekonomi tidak layak untuk bicara dan membantu presiden mengoreksinya,” kata Emil. Hingga akhirnya muncul satu kesempatan pertemuan dengan Soeharto.

Di hadapan Soeharto mereka memaparkan kondisi ekonomi kala itu dan presiden harus mengambil satu di antara dua keputusan. Pertema, Presiden kekeuh tidak devaluasi dengan risiko perekonomian nasional jatuh atau devaluasi dengan kemungkinan rupiah akan sumringah dan ekspor terdongkrak.

Dengan pilihan itu, Presiden menjawab, “Kenapa kita biarkan rupiah merosot?” kata Soeharto sebagaimana diingat Emil.

“Karena bapak sendiri menjanjikan di sidang DPR,” jawab para ekonom. Lantas Soeharto menerima masukan para ahli dan mencabut janji tidak devaluasi.

Soeharto berpandangan, kemaslahatan negara lebih penting diutamakan daripada janji seorang presiden. “Kalau janji saya keliru dan negara dikorbankan lebih baik saya cabut ucapan saya demi kemajuan perbaikan bangsa,” kata Soeharto.

“Beliau pun tanda tangani mencabut larangan devaluasi, devaluasi dijalankan rupiah selamat, ekonomi selamat,” papar Emil.

Demikianlah menurut Emil seorang presiden memang mesti mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang ambisi politik. Kalau sebuah kebijakan dinilai tidak rasional dan malah membuat kondisi negara semakin buruk, sudah maklum bagi Presiden menerima masukan itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Zaenal Arifin