Jakarta, Aktual.com – Jelang penghujung tahun, mendung mengepung langit Ibu Negara. Saat yang sama, cuaca kebatinan di langit jiwa bangsa ini juga diliputi kabut pesimisme, dengan cadangan oksigen persaudaraan yang kian menipis.

Dengan merebaknya kekuatiran akan kembalinya megakrisis, yang kita perlukan untuk menyongsong masa depan bukanlah suatu pesimisme atau optimisme buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka (optimisme realistis).

Di satu sisi, kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif karena pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan.

Warisan sejarah perjuangan bangsa ini membersitkan optimisme yang lebar bahwa setiap krisis mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, “Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri.”

Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam tumpukan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, diperlukan persenyawaan jutaan titik embun untuk bisa menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kebangsaan.

Ujung tahun harus menjadi momen mawas diri untuk bertobat (kembali) ke jalan fitrah (kemurnian asal kita sebagai manusia dan bangsa). Momen introspektif mengajak kita keluar dari kesempitan ke kelapangan jiwa. Dalam kebesaran Tuhan, setiap insan merupakan wujud ciptaannya yang paling sempurna dengan kondisi awal yang sama-sama suci. Keyakinan akan keaslian yang suci mengandaikan setiap orang memiliki sifat ketuhanan dengan lentera hanifnya yang menuntun ke jalan benar.

Sebagai citra Tuhan, manusia seyogianya memandang hidup secara positif dan optimistis. Setiap pribadi tidak tercipta sia-sia, tetapi orang-orang istimewa dengan misi kepahlawanannya sendiri-sendiri. Pertama-tama kita harus berprasangka baik dengan desain pelayanan Tuhan, karena Tuhan akan bereaksi sesuai prasangka itu. Dalam hadis Qudsi disebutkan, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, maka ia bebas berprasangka apa saja kepada-Ku.”

Prasangka baik pada Tuhan akan mengembangkan sikap positif pada hidup dan sesama. Bahwa pemikiran dan tindakan baik tak akan berbuah keburukan, begitu juga pemikiran dan tindakan buruk tak akan berbuah kebajikan. Dalam ungkapan James Allen, “Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan.”

Keberhasilan bukan tanpa rintangan. Setiap pejuang sejati menyadari bahwa hidup bukanlah tanpa kesulitan dan ujian; dan bahwa kemenangan hidup terletak pada keberhasilan mengarungi ujian. Dalam sebuah hadis dikatakan, “Ketahuilah bahwa pertolongan itu ada bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu akan selalu beriringan dengan cobaan.”

Prasangka baik akan melahirkan optimisme. Dalam sikap optimistis, setiap momen adalah istimewa dan setiap ujian adalah tangga kenaikan tingkat. Timbullah hasrat untuk merebut hari ini, memberi makna bagi hidup dan berbagai kebahagiaan dengan sesama.

Hanya dengan jiwa optimistis manusia bisa mengemban misi kekhalifahan di muka bumi sebagai pemimpin yang harus bertanggung jawab. Seperti sabda Nabi Muhammad, “Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Tanggung jawab kepemimpinan ini pada gilirannya tidak hanya menuntut perhatian keluar, terlebih dahulu juga harus menengok ke dalam, melakukan koreksi dan asah diri.

Orang yang sadar dirinya akan memahami Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya akan menyadari kerendahhatian dan cinta kasih-Nya bahwa semakin besar bukan menjadi bahaya bagi yang lain, malahan memberi ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya.

Orang yang memahami Tuhannya juga akan menyadari keterbatasan dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya akan giat belajar dan menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok batu permata dirinya. Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan memandang setiap momen sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan bekerja untuk menyempurnakan dirinya.

Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi hadangan krisis dengan kerja keras penuh tanggung jawab dan optimisme mata terbuka.

(Yudi Latif)