Dunia hukum Indonesia pastilah tidak melupakan nama Baharuddin Lopa, S.H. Pejuang keadilan yang lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, pada 27 Agustus 1935 ini dikenal sebagai tokoh yang pemberani, sederhana, lurus, bersih, dan taat beragama. Lopa menjabat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya di Riyadh, Arab Saudi, pada 3 Juli 2001, di masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Lopa juga adalah mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas HAM. Ia juga sempat menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan untuk masa jabatan 9 Februari – 3 Juli 2001. Ketika wafat, Lopa sedang “berjihad” menegakkan keadilan, dengan memburu sejumlah konglomerat hitam yang telah merugikan keuangan negara.

Sejak menjabat Jaksa Agung, Lopa memburu Sjamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang dirawat di Singapura, agar segera pulang ke Jakarta. Lopa juga memutuskan untuk mencekal Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat hitam tersebut mendapat penangguhan proses pemeriksaan langsung dari Presiden.

Lopa tidak kepalang tanggung dalam bertugas. Ia juga menyidik keterlibatan Pendiri Meta Epsi Drilling Company (Medco) Arifin Panigoro, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar
Akbar Tandjung, dan tokoh Partai Golkar Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Gebrakan Lopa itu sempat dinilai bernuansa politik oleh sejumlah kalangan, namun Lopa pantang mundur.

Sejak menjabat Jaksa Agung menggantikan Marzuki Darusman, Lopa bekerja keras untuk memberantas korupsi. Ia bersama staf ahlinya Dr. Andi Hamzah dan Prof. Dr. Achmad Ali serta staf lainnya, bekerja hingga pukul 23.00 setiap hari. Para stafnya sering kewalahan mengikuti pola kerja Lopa. Tetapi Lopa memang ingin bekerja cepat, seolah-olah memburu waktu.

Menurut orang yang dekat dengannya, dalam menegakkan hukum dan keadilan, Lopa adalah jaksa yang hampir tidak punya rasa takut, kecuali kepada Allah SWT. Dia adalah teladan bagi mereka yang ingin melawan praktik korup di dunia hukum. Hukum memang sering diplintir atau dimainkan oleh orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Lopa berdiri tegak melawan praktik tercela dan kebobrokan di birokrasi semacam itu.

Keberanian Lopa sudah terlihat ketika ia menjabat Jaksa Tinggi Makassar. Ketika menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel tahun 1980-an, Lopa tidak segan-segan menyeret Tony Gozal alias Go Tiong Kien ke pengadilan, dengan tuduhan memanipulasi dana reboisasi sebesar Rp 2 miliar. Tony Gozal dikenal kebal hukum karena kedekatannya dengan elite politik.

Akibatnya, bukan Tony Gozal yang masuk penjara, tetapi malah Lopa yang dimutasi ke Jakarta, menjadi staf Ahli Menteri Kehakiman. Namun, ketika Menjabat Menteri Kehakiman dan HAM, Lopa sukses mengirim konglomerat “raja hutan” yang dekat dengan Presiden Soeharto, Bob Hassan, ke penjara Nusa Kambangan.

Lopa bahkan pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Presiden Soeharto. Memang akhirnya kasus Presiden Soeharto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan, dan kemudian Soeharto keburu meninggal.

Kesederhanaan hidup Lopa juga menjadi kisah tersendiri. Ketika para pejabat tinggi menikmati hidup mewah dari menyalahgunakan jabatannya, Lopa mesti menabung sen demi sen dari gajinya untuk merenovasi rumah sederhananya. Rumah itu terletak di pinggiran Kota Makassar, di Jalan Merdeka 4. Salah satu tabungannya adalah sebuah celengan berisi uang receh.

Abraham Samad, mantan Komisioner KPK, bercerita pernah melihat Lopa membuka sejumlah celengannya. Ternyata semua uang itu belum cukup untuk membeli balok kayu dan batu. “Terpaksa pembangunan rumahnya ditunda dulu,” tuturnya mengenang. Padahal, ketika itu Lopa telah menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas).

Ada cerita menarik dari Wapres Jusuf Kalla tentang kesederhanaan Lopa. Waktu itu, JK masih jadi pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan timur Indonesia, belum jadi wapres. JK ditelepon oleh Lopa. Lopa mau membeli mobil. JK menduga, sebagai Dirjen Lapas, Lopa pasti mau sedan kelas satu. Sedan mewah Toyota Crown pun ia tawarkan.

Tapi Lopa malah setengah menjerit mendengar harganya, yang sekitar Rp 100 juta waktu itu. “Mahal sekali. Ada yang murah?” kata Lopa. Toyota Cressida seharga Rp 60 juta pun masih dianggap mahal oleh Lopa. Akhirnya, JK menyodorkan Toyota Corona senilai Rp 30 juta. Harganya tak ia sebutkan, karena ia berniat memberikannya untuk Lopa.

“Begini saja. Tidak usah bicara harga. Bapak kan perlu mobil. Dan jangan khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu besok ke Jakarta,” kata JK. Tapi Lopa kontan menolak.

Yang lucu, malah JK si penjual yang sampai menawar harga. “Begini saja. Saya kan pemilik mobil, jadi terserah saya mau jual berapa. Saya mau jual mobil itu Rp 5 juta saja.” Lopa masih menolak, “Jangan begitu. Kau harus jual dengan harga sama seperti ke orang lain. Tapi kasih diskon, nanti saya cicil. Tapi jangan kau tagih.”

Akhirnya, tawar-menawar aneh itu mencapai kata sepakat juga. Lopa akan membelinya senilai Rp 25 juta. Uang muka sebesar Rp 5 juta langsung dibayar Lopa, diantar dalam bungkusan koran bekas. Selebihnya, betul-betul dicicil sampai lunas selama tiga tahun empat bulan. “Kadang-kadang dibayar Rp 500 ribu, kadang-kadang sejuta,” tutur Jusuf Kalla, mengenang.

Kisah lain dituturkan oleh sahabat dan rekan kerjanya, Prof. Dr. Ahmad Ali, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Aisyah, salah satu putri Lopa, punya pengalaman unik. Pada 1984, ia menjadi panitia sebuah seminar di kampusnya, FH Unhas. Karena kekurangan kursi, Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk meminjam kursi di aula Kejaksaan Tinggi Sulsel.

Sebagai jawabannya, Lopa menarik salah satu kursi lipat dan memperlihatkan tulisan di baliknya. “Ini, baca. Barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sulsel, bukan inventaris Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak bisa dipinjamkan,” kata Lopa.

Ketakwaan dan konsistensinya terhadap nilai-nilai ajaran Islam dan budaya siri orang Mandar, sangat mewarnai pribadi Lopa. Kisah Nabi Muhammad SAW, yang siap memotong tangan putrinya Fatimah jika berani mencuri, menjadi inspirasi hidup Lopa. Dalam menegakkan hukum, ia tak mengenal saudara, teman, atau pangkat/kekayaan seseorang.

Sikap itu terlihat saat mengusut kasus pengadaan fiktif kitab suci Al-Quran, yang melibatkan Kepala Kanwil Agama Sulawesi Tenggara KH Badawi. “(Padahal) Pak Lopa dengan Pak KH Badawi saat itu berteman akrab. Hampir setiap malam Jumat saya disuruh menjemput Pak KH Badawi untuk baca doa selamat di rumah Pak Lopa,” seperti yang disampaikan Pariama, ajudan Lopa.

Bahkan setiap mau diberi hadiah, Lopa selalu menolak dengan mengatakan bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah, karena sudah digaji. Yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah, katanya. Kalimat yang sering diucapkan Lopa: “Janganlah takut menegakkan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum.”

Lopa meninggal dunia pada usia hampir 66 tahun, ketika baru menjabat Jaksa Agung selama 1,5 bulan. Padahal kehadiran figur-figur bersih dan berani seperti Lopa terbilang langka dan amat dibutuhkan negeri ini. Sejak menjabat Jaksa Agung yang hanya berlangsung 1,5 bulan, Lopa sudah membuat daftar panjang konglomerat dan pejabat yang diduga terlibat korupsi, untuk diseret ke pengadilan.

Menurut Andi Hamzah, sebelum bertolak ke Arab Saudi menjelang wafatnya, Lopa masih meninggalkan beberapa tugas berat. Kepergian Lopa untuk selamanya memang membawa dampak serius bagi kelanjutan penanganan kasus-kasus korupsi. Banyak perkara yang sedang digarap tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Banyak masih dalam tahap pengumpulan bukti, sudah ada yang selesai surat dakwaan atau sudah siap dikirim ke pengadilan. Banyak perkara yang tertahan di lapis kedua dan ketiga.

Atas pengabdiannya memberantas korupsi di Indonesia selama hidupnya, Lopa dianugerahi Government Watch Award (Gowa Award). Penganugerahan penghargaan itu ditandai dengan Deklarasi Hari Anti Korupsi, yang diambil dari tanggal lahir Lopa, 27 Agustus. Lopa terpilih sebagai tokoh anti korupsi, karena telah berjuang melawan ketidakadilan dengan memberantas korupsi di Indonesia tanpa putus asa, selama lebih dari 20 tahun. (Dirangkum dari berbagai sumber)

Jakarta, Februari 2016

Artikel ini ditulis oleh: