Woe to that nation whose literature is cut short by the intrusion of force.
This is not merely interference with freedom of the press
but sealing up of a nation’s heart, the excision of its memory
(Alexander Solzhenitsyn)
Setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari tanda. Tanda baru yang menjadi mercusuar, ke arah mana idaman orang diarahkan; tanda baru yang menjadi pembatas antara tradisi dan inovasi, masa lalu dan masa depan.
Kata, bahasa dan susastera adalah rumah tanda. Karena tidak ada kemungkinan mengada di luar tanda (bahasa), maka sebagai rumah tanda, mereka (kata, bahasa, dan susastera) pun menjadi rumah kehidupan. Meminjam Martin Heidegger, ”Language is the house of being.
Sebagai rumah kehidupan, upaya perjuangan dan kebangkitan apa pun harus bermula dari bebenah kata, bahasa dan susastera; dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata.
Tak salah jika Partha Chatterjee (pemikir India) dan Reynaldo Ileto (pemikir Filipina) mengakarkan nasionalisme bukan (hanya) pada mesiu, perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan (print capitalism), melainkan pada emosi Dionysian (passion) yang dipancarkan puisi dan daya kata (Chatterjee 1986; Ileto, 1989).
Taruhlah, gerakan kebangkitan dan kebangsaan Indonesia. Budi Utomo bukanlah yang pertama dan satu-satunya aktor kebangkitan. Ia sekadar monumen dari arus sejarah kebangkitan yang melewati fase persiapan (gestation), fase pembentukan (formative), dan fase pematangan (consolidation). Di sepanjang lintasan fase pergerakan ini, perjuangan kata/bahasa sebagai penanda baru memainkan peran penting.
Perjuangan kata sebagai tonggak kebangkitan
Fase persiapan gerakan kebangkitan bermula pada akhir abad ke 19, distimulasi oleh kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia (Indonesia). Ruang publik yang dimaksud adalah domain tempat wacana dan opini publik diekspresikan serta tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan.
Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukan tradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakan bagian dari kemunculan apa yang disebutnya sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) sekitar abad ke-17 dan ke-18. Ruang publik ini berpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra dari keluarga borjuis yang berorientasi pemirsa dan berlangsung di lembaga-lembaga sosial yang baru muncul dalam ranah publik: seperti klub-klub, majalah-majalah, jurnal-jurnal, kedai-kedai kopi, salon-salon dan ruang-ruang kafe lantai atas (cenacles). Ruang publik ini merupakan sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, di mana individu-individu perseorangan berbaur ‘demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh’ (Eagleton 1997: 9).
Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern di Hindia dimungkinkan oleh dampak ikutan dari penerapan ekonomi Liberal pada paruh akhir abad ke-19, yang bertanggungjawab dalam mendorong pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal) serta dalam penyebarluasan klub-klub sosial bergaya Eropa. Lewat proses pendidikan dan mimicry dan dengan cara membaca pers vernakular yang didirikan oleh orang Eropa dan kemudian juga oleh orang keturunan Cina, serta dengan membentuk perhimpunan-perhimpunan, inteligensia pribumi pada akhirnya bisa menciptakan ruang publiknya sendiri.
Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu “kemadjoean”. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan dengan Westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.
Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep ‘kemadjoean’ dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.
Para guru melancarkan tuntutan dan kritik mereka terutama lewat majalah-majalah pendidikan, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo (yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalah itu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikan aspirasi-aspirasi guru pribumi. bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Seiring dengan itu, persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub ‘Mufakat Guru’. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari ‘Mufakat Guru’ pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemadjoean.
Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru ini berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa. Yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi dan pengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi (Adam 1995: 89).
Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern. Sejauh mengenai perkembangan pers vernakular, dekade pertama abad ke-20 merupakan momentum paling penting dalam sejarah keterlibatan kaum pribumi dalam bidang tersebut. Sementara pada abad ke-19, telah ada beberapa redaktur dan jurnalis pribumi yang bekerja untuk pers milik orang Belanda/Indo dan orang keturunan Cina, peran kaum pribumi dalam dekade awal abad ke-20 jauh lebih substansial. Di samping jumlah redaktur dan jurnalis pribumi yang meningkat, para anggota dari inteligensia pribumi itu sekarang telah mendirikan pers yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola oleh kalangan pribumi sendiri.