Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Alexander Solzhenitsyn (Aktual/Ist)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Tragedi Indonesia
Apabila gerakan kebangkitan di masa lalu berhasil memancangkan ’pikiran’ dan ’keberaksaraan’ sebagai tanda kemajuan, lantas tanda apakah gerangan yang kita ciptakan masa kini, seabad setelah BU berdiri? Inilah pertanyaan genting yang harus dicermati.

Terdapat tanda-tanda bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan. Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta, karena kepintaran kembali dihinakan oleh ‘kebangsawanan baru’: kroni dan kemewahanterdapat indikasi bahwa ‘pikiran’ dan keberaksaraan tak lagi menjadi ukuran kehormatan.
Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya? Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki dan memperbaharui dirinya sendiri.

Tanpa kapasitas pembelajaran, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase “kanak-kanak” (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi. Dalam kasus strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Dalam situasi demikian, gerakan kebudayan yang mengeluhkan apa yang disebut Taufiq Ismail sebagai ”generasi nol buku”, yang berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat menyasar pusat syaraf kelumpuhan kebudayaan Indonesia.

Gerakan kebudayaan seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan untuk menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Dalam teori sosial secara umum, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamantkan pada faktor-faktor semacam modernisasi, kapitalisme, imperialisme, figur karismatik atau individu-individu berpengaruh

Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya.

Gerakan kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial. Pada dekade 1960-an, Herbert Marcuse menekankan dimensi estetik dari gerakan sosial pada masa itu, dengan menegaskan bahwa dalam seni, musik dan sastera lah gerakan-gerakan sosial mengingat dan menyimpan tradisi kritik dan perlawanan (Marcuse, 1969). Hal ini diperkuat oleh Richard Flacks dalam analisisnya tentang “tradisi kiri” Amerika, yang mengindikasikan bahwa gerakan sosial seringkali lebih penting sebagai aktor budaya ketimbang politik (Flacks, 1988).

Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup (ways of life). Dalam hal ini, minat pengetahuan (knowledge interest) serta aktivitas produksi ide (ideas-producing activities) sangat esensial dalam mengkonstruksikan identitas kolektif baru yang memungkinkan gerakan sosial mampu memelihara vitalitasnya.

Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. Adalah melalui sastera, nyanyian dan seni yang lain—yang dibudayakan dalam masyarakat—yang bisa membuat gerakan dan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif.

Menyongsong Revolusi Mental
Gerakan kebudayaan sebagai ikhtiar untuk merevitalisasi tenaga kejiwaan bangsa ini menemukan resonansinya lewat kampanye kepresidenan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang memancangkan tanda baru kebangkitan dalam terma “revolusi mental”.

Apakah gerangan revolusi itu? Istilah revolusi terlalu sering disalahpahami. Dalam pemahaman umum selama ini, revolusi sering diasosiasikan sebagai perubahan cepat dalam ranah sosial-politik dengan kekerasan radikal yang menyertainya. Jarang orang yang menyadari bahwa sebelum digunakan dalam wacana dan gerakan sosial-politik, istilah revolusi sesungguhnya lebih dahulu muncul sebagai istilah teknis dalam sains (exact sciences).

Secara denotatif, revolusi berarti “kembali lagi” atau “berulang kembali”; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Maka dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu ketetapan (konstanta) dalam perubahan; pengulangan secara terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Pengertian seperti inilah yang terkandung dalm frase “revolusi planet dalam orbit”.

Pada 1543, Nicolaus Copernius mempublikasikan buku De Revolutionibus Orbium Coelestium, yang sering dinisbatkan sebagai penanda revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam semesta dari geosentrisme (berpusat di bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini kemudian dikenal sebagai revolusi Copernican. Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian sebelumnya menjadi apa yang didefinisikan Thomas Khun sebagai “perubahan dalam susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity), melainkan justru dilihat sebagai patahan dalam kesinambungan (break in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu peruban struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).

Pengertian revolusi seperti itulah yang diover ke dalam wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih setelah Revolusi Perancis (1789). Seperti halnya revolusi dalam sains, pengertian revolusi dalam politik pun pada mulanya mengandung konotasi yang ramah (benign), hingga Revolusi Perancis berubah menjadi ekstrem dalam bentuk teror yang menakutkan. Konotasi menakutkan dari istilah revolusi tersebut menguat menyusul publikasi The Communist Manifesto pada pertengahan abad ke-19, revolusi 1848, dan gerakan komunis internasional dengan agenda revolusi berskala dunia yang mengandung ekspresi kekerasan yang terkait dengan perubahan cepat.

Bagaimana pun juga, kekerasan dan perubahan cepat bukanlah elemen esensial dari suatu revolusi. Revolusi tidak mesti dengan jalan kekerasan. Pada 1986, Peter L. Berger mempublikasikan buku The Capitalist Revolution yang menunjukan suatu bentuk revolusi nirkekerasan. Revolusi pun bisa ditempuh secara cepat atau lambat. Revolusi industri di Eropa ditempuh dalam puluhan bahkan ratusan tahun. Yang esensial dalam suatu revolusi adalah “kebaruan” (newness). Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa “Konsep modern tentang revolusi terkait dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau diceritakan sebelumnya.” Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan dunia lama menjadi dunia baru.

Alhasil, revolusi sejati yang punya dampak besar dalam transformasi kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental dan keyakinan. Dengan kata lain, revolusi sejati meniscayakan perubahan mentalitas (pola pikir dan sikap kejiwaan) yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan. Urgensi revolusi mental seperti ini sejalan dengan Firman Tuhan dalam Al-Qur’an (QS 13: 11): “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka.”

Kenyataannya, keberhasilan revolusi fisik merebut kemerdekaan serta jatuh bangunnya pemerintahan pasca kolonial tidak diikuti oleh perubahan mendasar pada struktur mentalitas bangsa. Pada relung terdalam kejiwaan bangsa ini masih bercokol mentalitas feodalistis yang menghisap ke bawah, tapi mudah bermetamorfosis menjadi mentalitas budak di hadapan tuan-tuan agung. Mentalitas budak (inferior) menjadikan bangsa ini mudah mengekor bangsa lain; saat yang sama sulit menerima kelebihan dan kemenangan sesama bangsanya sendiri.

Dengan struktur mentalitas seperti itu, kemerdekaan dan pembangunan Indonesia tidak diikuti oleh kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik dan kepribadian dalam kebudayaan. Lemahnya mentalitas kemandirian membuat wajah perekonomian bangsa ini belum kunjung beranjak dari gambaran perekonomian negeri terjajah yang dilukiskan Bung Karno pada 1930-an. Per¬tama, sumber daya alam¬nya hanya dijadikan bahan baku murah oleh negera negara maju. Kedua, negeri kita hanya dijadikan sebagai pasar untuk menjual produk-produk hasil industri negara maju tersebut. Ketiga, dijadikan tempat untuk memutarkan kelebihan kapital (modal) oleh negara-negara kapitalis tersebut atau dengan kata lain menjadi tempat investasi asing.

Lemahnya mentalitas kedaulatan membuat politik negeri ini tak leluasa mengembangkan pilihan sistem dan kebijakan politik sendiri. Keluar, kewibaan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya dalam hubungan internasional kian memudar. Kedalam, pilihan-pilihan pembangunan tidak lagi ditentukan oleh apa yang disebut Tan Malaka sebagai “kemauan, pelor, atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri”. Tanpa kedaulatan mengembangkan sistem pemerintahan sendiri, demokrasi padat modal membuat pilihan-pilihan politik kerap dimenangkan kepentingan korporasi, karena aspirasi rakyat tidak memiliki sarana yang efektif untuk mengeksprekan diri.

Lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa ini tak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar yang mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Tanpa kekuatan karakter, kita sulit menjadi pemenang dalam era persaingan global. Sebab seperti diingatkan Napoleon Bonaparte, “Dalam pertempuran (baca: persaingan), tiga per-empat faktor kemenangan ditentukan oleh kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperempat lagi oleh keseimbangan antara keterampilan manusia dan sumberdaya material.”

Begitu terang-benderang, bahwa krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari segala krisis kebangsaan. Bisa dipahami bila pesan Lagu Kebangsaan lebih mendahulukan pembanguna jiwa daripada raga. Celakanya, perhatian yang berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental .

Dunia pendidikan yang biasanya dijadikan sandaran terakhir bagi transformasi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan mengalami proses pengerdilan, tergerus oleh dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya dan pendidikan sejauh yang menyedian instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.

Suatu usaha “national healing” perlu dilakukan dengan melakukan gerakan revolusi mental melalui proses persemaian dan pembudayaan dalam dunia pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan mental-karakter yang kuat.

(Bersambung…)