Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja berjalan usai diperiksa KPK, di Jakarta, Kamis (14/6). Ariesman yang sudah menjadi tahanan KPK tersebut diperiksa sebagai saksi dalam kasus pemberian hadiah atau janji terkait pembahasan raperda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi DKI Jakarta tahun 2015-2035 dan raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis Pantai Utara Jakarta. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/ama/16.

Jakarta, Aktual.com — Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terungkap membuat perjanjian dengan beberapa perusahaan pengembang dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Perjanjian itu terkait implementasi kontribusi tambahan yang dibebankan kepada pengembang reklamasi.

Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja (AWJ) jadi salah satu pihak yang dikonfirmasi mengenai hal itu. Pasalnya, PT Muara Wisesa Samudra selaku anak perusahaan Agung Podomoro, jadi salah satu pihak yang menyetujui perjanjian itu.

“AWJ bukan (ditanya) soal barternya, tapi soal kontribusi (tambahan),” jelas Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, saat dikonfirmasi, Sabtu (14/5).

Meski demikian, ketika ditelisik lebih jauh apakah PT Muara Wisesa sudah melakukan apa yang menjadi permintaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Yuyuk enggan mengungkapnya. Hal itu lantaran menyangkut materi pemeriksaan.

“Tetapi jawaban atas pertanyaan penyidik tidak bisa saya konfirmasikan,” jelasnya.

Ahok sendiri sudah membenarkan adanya perjanjian itu. Menurutnya, kesepakatan yang dia sebut ‘perjanjian preman’ itu dibuat berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.

Bentuk perjanjiannya, empat pengembang reklamasi yaitu PT Muara Wisesa, PT Jakarta Propertindo, PT Taman Harapan Indah dan PT Jaladri Kartika Pakci, akan membantu Pemprov DKI dalam mengendalikan banjir di kawasan utara Jakarta.

“Kaya perjanjian preman kaya gitu juga. Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi lima persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri),” tutur Ahok, di Balaik Kota DKI Jakarta, Jumat (13/5).

Perjanjian itu sendiri dibuat sambil menunggu pengesahan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Jakarta, yang hingga kini belum juga disahkan oleh DPRD DKI.

Kendati demikian, meski Ahok sudah menjelaskan alasannya, perjanjian itu tetap dianggap ilegal. Hal itu lantaran, kedudukan perjanjian dengan Perda sangat jauh berbeda.

“Sebuah perjanjian yang dibuat oleh Kepala Daerah dengan pihak swasta, pembuatannya tidak ada kewajiban melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPRD. Hal ini tentu sangat rawan isi perjanjian tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi,” papar pakar Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, saat diminta menanggapi.

Artikel ini ditulis oleh: