Haris Rusly Moti (AKTUAL/ ISTIMEWA)

Jakarta, aktual.com – Eksponen gerakan mahasiswa 1998, Haris Rusly Moti, menanggapi kritik terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Polri. Ia menegaskan bahwa revisi tersebut tetap sejalan dengan semangat reformasi dan tidak mengembalikan peran sosial politik TNI seperti era Orde Baru.

“Pertama, pada prinsipnya kami tetap menghormati partisipasi publik dalam mengkritisi dan memberi masukan untuk menyempurnakan revisi UU TNI dan Polri. Sikap kritis ini mesti diletakkan dalam pijakan dan arah yang sejalan dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pancasila, dan UUD 1945,” ujarnya, Senin (17/3).

Haris menegaskan bahwa supremasi sipil tetap terjaga karena revisi UU TNI dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang merupakan representasi rakyat sipil.

“TNI tak lagi mempunyai fungsi sosial dan politik, TNI tidak lagi mempunyai kewenangan terlibat langsung membuat peraturan yang mengatur dirinya sendiri seperti di era Orde Baru. TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan terkait revisi UU yang mengatur dirinya,” katanya.

Menurutnya, dibandingkan dengan era Orde Baru, situasi saat ini sudah jauh berbeda.

“Jika kita perhatikan, berbeda dengan era Orde Baru, melalui peran Sosial Politik (Sospol) ABRI, ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI. Ketika itu disebut Dwi Fungsi ABRI lantaran selain berfungsi sebagai institusi pertahanan negara, ABRI juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik,” jelasnya.

Haris menilai bahwa kekhawatiran terkait “Dwi Fungsi ABRI Rebound” dalam revisi UU TNI tidak berdasar.

“Jadi menurut saya salah kaprah, jika revisi UU TNI dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI Rebound. Menurut saya revisi UU TNI sama sekali tidak bertentangan dengan semangat reformasi, tidak mengembalikan peran Sospol TNI. Omong kosong tuduhan militerisme rebound yang distempel ke dalam naskah revisi UU TNI,” tegasnya.

Ia juga menyoroti peran perwira TNI dalam jabatan profesional di kementerian dan lembaga negara.

“Jika kita perhatikan revisi UU TNI hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara, yang membutuhkan profesionalitas dan keahlian khusus perwira TNI,” katanya.

Sebagai contoh, ia menyebut peran Letjen Doni Monardo dalam penanganan pandemi COVID-19.

“Jenderal Doni diangkat dan tunduk pada keputusan Presiden RI, pejabat sipil. Jadi menurut saya, revisi UU TNI dilakukan agar penempatan perwira TNI yang dibutuhkan kapasitas dan keahliannya, terutama yang terkait dengan pertahanan negara, mempunyai landasan hukum,” ucapnya.

Lebih lanjut, Haris mengkritik aktivis LSM yang menurutnya masih berpikir secara dikotomis dalam melihat tata kelola negara.

“Kita butuh kolaborasi sipil dan militer. Dikotomisasi, bahkan otonomisasi sudah kehilangan relevansinya. Kita butuh kolaborasi, integrasi, dan konsentrasi dari dan oleh semua kekuatan bangsa dalam mewujudkan sebuah gagasan bersama, membangun Indonesia menjadi negara maju,” tuturnya.

Sebagai penutup, ia menyatakan dukungannya terhadap revisi UU TNI.

“Go ahead revisi UU TNI, lanjut terus, kita dukung! Revisi UU TNI yang menempatkan perwira TNI di jabatan profesional dan operasional kementerian dan lembaga tidak mengancam supremasi sipil dan tidak bertentangan dengan demokrasi,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain