Hikayat Kelompok Jimbaran. (ilustrasi/aktual.com)

Selama ini banyak orang yang sudah sering dengar yang namanya Yayasan Prasetya Mulya. Namun belum banyak yang tahu bahwa Kelompok Cina yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulya, sejatinya merupakan konglomerasi ekonomi berkedok lembaga nir-laba. Para pengusaha yang tergabung di dalamnya semuanya non pribumi alias Cina, yang dikoordinir oleh Sofyan Wanandi, yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Staf Khusus Wapres Jusuf Kalla.

Adapun konglomerat kelompok Prasetya Mulya itu adalah:

1. Sudono Salim alias Lie Soe Lion (Salim Group).
2. Eka Cipta Wijaya (Sinar Mas Group).
3. Prayogo Pangestu (Barito Pacific)
4. Bob Hasan (Nusamba)
5. Ciputra
6. Mu’min Ali Gunawan (Panin Group)
7. Trihatman Kusuma Haliman (Agung Ppdomoro
8. William Suryajaya (ASTRA)
9. Benyamin Setiawan (Kalbe Farma)
10. Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group)
11. Murdaya Po (BERCA GROUP)
12. Mochtar Riadi (Lippo Group).
13. Peter Sondakh (Rajawali).
14. Sukanto Tanoto (RCA).
15. Joko Chandranegara (Mulia Group)
16. The Nin KIng (Argo Manunggal)
17. Usman Atmajaya (Danamon Group)
18. Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal)
19. Husain Joyonegoro (ABC Group)
20. Kartini Mulyadi (Tempo Group)
21. Osbert Lyman (Lyman Group)
22. Sofyan Wanandi (Gemala Group)

Foto buat Aktual Review Maret 13

Para konglomerat non pribumi ini pada 1994 pernah melakukan manuver politik menekan Presiden Suharto agar Aburizal Bakrie tidak terpilih kembali menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN).

Gerakan ini benar benar secara politis didorong oleh motivasi untuk menggusur para pengusaha pribumi dari pucuk pimpinan KADIN. Buktinya, Liem Soe Liong dan Bob Hasan, yang sebenarnya juga pengusaha yang dibesarkan Suharto, ikut-ikutan menekan Suharto agar Aburizal Bakrie disingkirkan dari kepemimpinan KADIN.

Untunglah, para pengusaha pribumi yang dekat dengan Suharto seperti Sukamdani Sahid Gitosarjono dan kerabat dekat Suharto, pengusaha Probosutejo, secara solid membela Aburizal Bakrie agar tetap memimpin KADIN untuk kedua kalinya.

Bukti nyata lain lagi yang menggambarkan betapa manuver Sofyan Wanandi dan konglomerat kelompok Prasetya Mulya memang secara ekslusif bermaksud membangun imperium bisnis dan politik sekaligus, terlihat ketika manuver Wanandi cs ketika gagal menyingkirkan Bakrie dari KADIN.

Yaitu ketika di era reformasi Wanandi mendirikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang kalau dicermati, sebenarnya memainkan peran seperti KADIN. Hanya saja Wanandi melalui APINDO lebih memperjuangkan aspirasi pengusaha Cina ketimbang pengusaha pribumi.

Sofyan Wanandi yang lahir di Sawah Lunto, Sumatra Barat ini, sejatinya bukan sekadar pengusaha biasa, melainkan merupakan pemain politik yang memulai debutnya sejak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mengganyang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kemudian menggusur Presiden Sukarno dari tampuk kekuasaan.

Bahkan sejak 1995, para konglomerat kelompok Prasetya Mulya yang dimotori Sofyan Wanandi ini, sudah mulai berani-beraninya menentang himbauan Presiden Suharto agar para konglomerat ini menyisihkan keuntungannya untuk mengentaskan kemiskinan rakyat Indonesia.

Dalam pertemuan di Tapos pada 1995 itu, Suharto mendesak para pangusaha non pribumi itu untuk menyumbangkan keuntungannya sebeasar 2,5 persen , yang kalau kita kenal sekarang, persis seperti skema CSR.

Yang jelas-jelas menolak skema Suharto itu adalah Liem Soe Liong, Sofyan Wanandi, dan William Suryajaya. Alasannya, beban ekonomi para konglomerat sudah cukup berat untuk memenuhi program Sistem Bapak Angkat yang digagas Suharto.

Padahal dalam skema Suharto dengan sistem Bapak Angkat itu,mwnyumbang 2,5 persen ibaratnya seperti zakat mall dalam Islam yang prosentasenya juga kebetulan sama, 2,5 persen.

Sejak penolakan para konglomerat Prasetya Mulya yang kemudian juga dikenal sebagai Kelompok Jimbaran erhadap seruan Suharto, maka hubungan presiden kedua RI dengan kelompok Jimbaran ini semakin memburuk.

Jadi rupanya, kalau kita telisik sejak 1991, ketika kelompok ini ikut serta dalam pertemuan di Singapura yang diselenggarakan oleh China’s Overseas, mereka nampaknya mulai memyadari bahwa selain sebagai kekuatan ekonomi, mereka sejak saat itu merupakan kekuatan politik.Sehingga tidak merasa perlu untuk tergantung lagi pada perlindungan politik Suharto. Mereka bahkan merasa mampu mempengaruhi siapa-siapa yang pantas menggantikan Suharto.

Berarti, mereka tidak lagi merasa sekadar entitas ekonomi dan bisnis, melainkan sudah menjelma jadi entitas politik. Semacam konsorsium politik. Kesadaran bahwa kelompok Jimbaran ini sudah menjelma sebagai kekuatan politik, semakin menguat ketika kelompok ini kembali ikut serta dalam pertemuan China’s Overseas di Hongkong pada 1993.

Apa gagasan utama yang mendasari pertemuan yang digelar oleh China’s Overseas tersebut? Ini yang ngeri. Karena dalam pertemuan tersebut menggulirkan sebuah agenda: bagaimana menyinergikan kekuatan ribuan taipan yang tersebar di pelbagai belahan dunia, untuk menguasai kawasan Asia.

Ketika Indonesia diterpa Krisis Moneter 1997-1998, sehingga rupiah kita anlog di kisaran Rp 16 ribu per dolar AS, maka kelompok Jimbaran ini menerbangkan uang dan kapitalnya ke luar negeri. Sehingga memicu percepatan rontoknya perekonoman nasional kita. Yang kemudian menjadi faktor pemicu kejatuhan Suharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998.

Agaknya, para konglomerat Cina yang dimotori oleh kelompok Prasetya Mulya/Jimbaran ini, sudah sampai pada putusan untuk mengganti Suharto dengan pemimpin yang lain. Waktu itu, melalui Jenderal Benny Murdani, Megawati sudah dipersiapkan untuk menggantkan Suharto, yang sekarang kita kela sebagai era reformasi.

Maka, sesuai dengan skema yang disepakati melalui pertemuan China’s Overseas di Singapura pada 1991 dan Hongkong pada 1994, kelompok Jimbaran sudah siap dengan skema baru ketika bergabung dengan rezim reformasi Indonesia baru pasca Suharto. Inti skema baru itu adalah, bagaimana membentuk sindikasi antara Republik Rakyat Cina dan para taipan yang tersebar di Asia-Pasifik dan Afrika. Bahkan di Afrika, Cina berhasil menguasai perekonomian di kawasan tersebut melalui skema Turnkey Project Management

Turnkey Project Management sejatinya merupakan skema satu paket yaitu investasi dengan SDM dan manajemen tingkat tinggi sampai dengan buruh, bahan baku, teknologi dan pengelolaan manajemen menjadi satu syarat yang dipaksakan Cina kepada negara-negara di Afrika.

Skema inilah yang sekarang sedang menghantui kerjasama Indonesia-Cina. Dan celakanya, agen-agen yang berusaha menggolkan skema Turnkey Project Management, berada di ring satu kantor kepresidenan dan kantor Pemda DKI Jakarta.

Itulah sebabnya Proyek Reklamasi Teluk Jakarta mulai dihidupkan lagi ketika Jokowi-Ahok terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Padahal ketik era Fauzi Bowo, Reklamasi sempat dihentikan sementara karena adanya gugatan.

Kala itu, Ahok sebagai Wagub ditunjuk sebagai operator. Dari rencana 17 pulau pengembang yang diberi ijin adalah Aguan Sugianto Kusuma (Agung Sedayu) dan Trihatma Haliman (Agung Podomoro). Yang akhirnya diberhentikan sementara karena melanggar undang-undang dan lingkungan hidup.

Desakan dari Rizal Ramli yang kala itu masih menjabat Menko Maritim dan Susi Pujiastuti, Menteri Perikanan, agar Presiden menghentkan proyek Reklamasi ini, Jokowi malah minta mereka berdua mengalah.

Terlepas saat ini ruang gerak Jusuf Kalla dibatasi sehingga Sofyan Wanandi tidak bisa bebas bergerak menjalankan agenda-agendanya, namun tekanan kuat Jokowi kepada Rizal Ramli dan Susi Pujiastuti agar mengalah pada Proyek Reklamasi, menandakan masih kuatnya gurita kelompok Jimbaran di pemerintahan Jokowi maupun terhadap pemerintahan DKI Jakarta yang saat ini masih dipimpin oleh Gubernur Ahok.

Hendrajit