Jakarta, Aktual.com — Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi hal yang paling ditakuti oleh pekerja atau karyawan di Indonesia. Akan tetapi sangat lazim dan sering ditemui di Tanah Air. Apa pun penyebab berakhirnya hubungan kerja antara perusahaan dan karyawannya disebut dengan “PHK”.
Dalam dunia kerja, kita lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja (atau yang sering disingkat dengan kata PHK). PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak?. Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya.
Di sini Aktual.com mencoba menggali lebih mendalam seputar PHK ditinjau dari ‘kaca mata’ hukum Islam.
Ustadzah Nurhasanah menerangkan, bahwa ada beberapa sebab seorang karyawan atau pegawai di PHK di antaranya:
1. Tidak memenuhi dalam masa percobaan
Dalam masa percobaan, umumnya alasan pemberhentian adalah karena pegawai tidak baik. Pasal 1603 I KUHP, menyatakan baik selama masa percobaan masing-masing pihak berhak seketika mengakhiri perhubungan kerjanya dengan pemberitahuan pemberhentian. Masa percobaan paling lama tiga bulan.
2. Pekerja sering mangkir, tidak baik (atau berkelakuan buruk)
Sering mangkir, tidak cakap dan berkelakuan buruk, jelas merungikan perusahaan, karenanya pegawai merugikan perusahaan dapat dipertimbangkan untuk diberhentikan.
3. Pegawai ditahan oleh alat negara
Pegawai dapat diberhentikan oleh perusahaan dari pekerjaannya, jika pegawai tersebut ditahan oleh alat-alat negara. Jika kemudian pegawai tersebut telah dilepaskan, ia dapat dipekerjakan kembali atau diberhentikan, maka perusahaan berkewajiban membayarkan ganti kerugian berupa pesangon dan uang jasa sesuai dengan masa kerjanya.
4. Pegawai dihukum oleh hakim
Perusahaan dapat memberhentikan pegawai, bila pegawai dihukum oleh hakim berdasarkan tuduhan majikan atau karena hal-hal lain. Bila pemberhentian bersifat mendadak, maka pegawai kehilangan haknya untuk mendapatkan ganti rugi dari perusahaan sesuai dengan putusan P4 Pusat No. P4/57/6241.
5. Pegawai sakit
Pemberhentian pegawai yang sakit hanya dapat dijalankan jika pegawai yang bersangkutan, telah menderita sakit terus-menerus sedikitnya selama tiga sampai empat bulan.
6. Pegawai berusia lanjut
Pegawai yang sudah berusia lanjut, yang menyebabkan prestasi kerjanya menurun, oleh perusahaan dapat diberhentikan atau dipensiunkan sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi perusahaan.
7. Penutupan badan usaha atau pengurangan tenaga kerja
Penutupan badan usaha otomatis menyebabkan pemberhentian pegawai, biasanya diikuti pemberian pesangon dan uang jasa kepada pegawai yang diberhentikan. Besarnya uang pesangon dan uang jasa pada umunya dimusyawarahkan oleh majikan dan serikat pegawai. Dalam keadaan memaksa misalnya perusahaan mengalami kebakaran, perusahaan dapat memberhentikan pegawai tanpa mengindahkan kewajiban berupa pesangon dan uang jasa.
8. Kontrak kerja berakhir
Pegawai kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak kerjanya berakhir. Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.
Namun, pertanyaannya bagaimana jika perusahaan yang tiba-tiba melakukan PHK atau memberhentikan pegawainnya (atau pemutusan sepihak) apakah hal tersebut dibolehkan?
“Untuk mengukur apakah memberikan mutasi atau PHK secara sepihak itu dibenarkan atau tidak, tentu harus kembali kepada aturan yang berlaku di perusahaan tersebut. Kalau dalam aturannya dalam hal mutasi atau PHK harus disetujui kepada kedua belah pihak atau ada prosesnya tersendiri, maka apabila salah satu melanggar tentu dapat digugat secara perdata karena merugikan orang lain, akan tetapi apabila aturan tersebut tidak mengatur demikian, melainkan hak penuh sebuah perusahaan, tentunya sebagai bawahan mau tidak mau, suka tidak suka harus menuruti aturan tersebut, karena setiap pekerjaan tentu ada resiko masing-masing, taat kepada aturan atau atasan atau diberhentikan,” jelas Ustadzah Nurhasanah kepada Aktual.com, di Tangerang, Rabu (20/04).
Akan tetapi apabila terjadi mutasi (atau PHK) tersebut tanpa landasan yang jelas dan pasti itu sudah tentu salah. Karena dalam Islam sendiri ada empat prinsip ketenagakerjaan. Hal tersebut ada setelah penghapusan perbudakan yang dikombinasikan dengan perpspektif Islam tentang ketenaga kerjaan, maka dapat disebutkan setidaknya ada empat prinsip untuk memuliakan hak-hak pekerja.
Dan empat prinsip tersebut adalah sebagai berikut,
1. Kemerdekaan manusia
Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesolehan sosial Rasulullah SAW yang dengan tegas mendeklarasikan sikap anti perbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Penghapusan perbudakan menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apa pun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja.
2. Prinsip kemuliaan derajat manusia
Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Allah SWT berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya, “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(Al-Jumu’ah : 10)
Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari beberapa dalil tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan. Selain itu, tersirat dalam dalil-dalil tersebut bahwa Islam menganjurkan umat manusia agar menanggalkan segala bentuk ‘stereotype’ atas berbagai profesi atau pekerjaan manusia.
Kecenderungan manusia menghormati orang yang memiliki pekerjaan, yang menghasilkan banyak uang, serta meremehkan orang yang berprofesi rendahan. Padahal nasib setiap insan berbeda sesuai skenario dari Allah SWT. Sikap merendahkan orang lain karena memandang pekerjaannya sangat ditentang dalam Islam.
3. Keadilan dan anti-diskriminasi
Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem pekerjaan seorang pekerja dipandang sebagai kelas kedua di bawah majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW pernah memiliki budak dan pembantu. Rasulullah SAW memperlakukan para budak dan pembantunya dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau, namun beliau tidak pernah memaksakan agama kepadanya. Isteri beliau, Aisyah Radhiyallahu anha, juga memiliki pembantu yang bernama Barirah yang diperlakukan oleh Rasulullah SAW dan isterinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.
4. Kelayakan upah pekerja
Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.
Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan upahnya, terhadap apa yang dikerjakan.”
Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya, maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.
Dan di masa sekarang, proporsioanlitas tersebut terbahasakan dengan sistem UMR (Upah Minimum Regional). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan, sandang serta papan.
Rasulullah SAW mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah Hadis, “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah SWT menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).”(HR. Muslim)
“Dan dari empat prinsip tersebut mungkin sudah jelas adanya, apabila ada suatu perusahaan yang dengan secara tiba-tiba melakukan PHK tanpa alasan yang jelas. Maka perusahaan tersebut telah melakukan sebuah kelalaian yang mana telah di ajarkan oleh Rasulullah SAW. Karena yang namanya seorang pegawai ia juga memiliki keadilan dan hak yang harus terpenuhi juga oleh oleh perusahaan tersebut, memang tidak disebutkan dosa atau ganjaran yang akan didapat oleh perusahaan tersebut akan tetapi yang sudah pasti perusahaan tersebut telah melakukan sebuah dosa karena telah bersikap tidak adil kepada pegawainya,” tutur Ustadzah Hasanah.
“Mungkin mengenai hal ini tidak banyak yang bisa saya sampaikan, akan tetapi alangkah baiknya jika didalam dunia pekerjaan semua harus terbuka, bila ada pegawai yang memang harus di berhentikan sebaiknya perusahaan tersebut lebih bisa mempertimbangkan dengan matang apakah pegawai tersebut layak diberhentikan atau tidak. Bukankah kita sesama Muslim adalah bersaudara, dan karena itulah sebaiknya harus ada keadilan antara seorang pegawai dengan perusahaan. Jangan sampai hanya menguntungkan sebelah pihak, karena jika seperti itu sudah lain lagi jadinya dan yang dihasilkan menjadi barang yang haram karena ketidakadilan atau menguntungkan sepihak tersebut,” papar ia menjelaskan.
“Dan intinya apapun alasan mengapa sampai terjadi pemutusan hubungan kerja, penting untuk menjaga agar dampak negatifnya seminimal mungkin, baik bagi organisasi maupun bagi karyawan bersangkutan. Meskipun pemutusan hubungan kerja terjadi, kedua belah pihak harus mampu menjaga hubungan baik,” harap ia menutup pembicaraan.
Artikel ini ditulis oleh: