Jakarta, Aktual.com — Udara di kawasan Pekayon, Kota Bekasi, menjelang siang itu masih cukup dingin usai diguyur hujan gerimis sejak Subuh.

Jarum jam menunjuk angka sepuluh saat kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PKK RW011 Pekayon Jaya sibuk melayani kedatangan pasien dari beberapa rumah di kawasan padat bagian selatan kota yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat itu.

Pada bangunan sederhana 4×6 meter persegi, seorang dokter muda berkerudung hitam sedang serius mengamati satu per satu gigi pasiennya menggunakan pinset.

Tak jauh dari meja kerja sang dokter, dua anggota PKK berbatik hijau sibuk menggendong dan membujuk pasien balita yang sejak tadi menangis tidak mau berat badannya ditimbang.

Hari itu, sekitar delapan ibu anggota PKK telah berbagi tugas menjadi pelayan Posyandu. Ada yang meneteskan vitamin A ke mulut balita, ada pula yang sekadar menyapa dengan senyum untuk mengakrabkan suasana menyambut tamu yang datang.

Pada sudut ruangan, tampak tumpukan mangkok hidangan bubur ayam hangat dengan taburan kerupuk lezat menanti untuk disantap pasien yang datang supaya mereka tetap nyaman mengantre di tengah sesaknya situasi bangunan hasil hibah Pemerintah Kota Bekasi tahun 2015 itu.

“Taruh saja bawaan sampahnya di samping pintu Bu, biar tidak menghalangi tamu lain yang mau masuk. Nanti saya data jenis sampahnya apa saja,” kata petugas usai memberikan nomor antrean 32 kepada tamu yang baru masuk.

Layanan kesehatan tersebut tidak diberikan cuma-cuma kepada warga yang datang, mereka diharuskan membawa serta sampah non organik yang ada di rumahnya sebagai transaksi jasa atas layanan kesehatan yang berlaku di Posyandu itu.

Barangkali aneh, tapi benar bahwa sampah rumah tangga yang dibawa para pasien sanggup untuk menghidupi operasional Posyandu yang hingga kini genap berusia enam bulan sejak peresmiannya pada Oktober 2015.

Sampah itu dikelola secara komunal oleh Unit Bank Sampah Yayasan Gerakan Peduli Lingkungan (PGL) Pekayon yang diinisiasi perwakilan warga setempat dari kalangan pensiunan terpelajar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta.

Strategi pengumpulan sampah lewat layanan kesehatan dirasakan Windi Arismi, Direktur Unit Bank Sampah Yayasan PGL Pekayon, efektif merangsang pola pikir warga untuk menyadari pentingnya merawat Bumi yang mereka tinggali.

“Syaratnya para pasien harus membawa sampah non organik minimal lima botol atau gelas platik bekas ke posyandu. Mereka bebas memilih layanan yang dibutuhkan, Seperti posbindu lansia, konsultasi ibu dan balita, pemberian vitamin, ada juga dokter gigi,” katanya, kepada wartawan.

Usia yang sudah menginjak 53 tahun tidak menghalangi Windi untuk bersentuhan langsung dengan sampah non organik hasil sumbangsih warga. Satu per satu kantong sampah dirapikannya menjadi satu gundukan agar mudah diangkut kemudian dijual ke pengepul.

“Satu kantong plastik isi botol dan gelas bekas ini paling laku Rp3.000 di pengepul. Kalau mengandalkan sampah dari Posyandu memang tidak terlalu banyak, makanya kita kumpulkan juga sampah plastik dari 200 rumah di sini,” katanya.

Tak segan Windi memperlihatkan catatan tentang harga per satuan kilogram sampah non organik di tingkat pengepul dari balik lipatan secarik kertas kuning yang ada di sakunya. Harga botol plastik tertera Rp500, kaleng Rp500, koran Rp1.600, majalah Rp1.100, besi Rp1.800, botol plastik Rp500, dan kardus Rp1.500.

“Pernah dalam sebulan kami mendapat uang Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Tapi sekarang, paling banyak Rp300 ribu karena sampahnya sudah semakin berkurang,” katanya.

Meski jumlah sampah yang terkumpul terus berkurang, namun Windi mengaku berbangga hati sebab pemanfaatan sampah non organik di lingkungan warga semakin sedikit.

Manajemen sampah Donny Pradhana, Humas Yayasan PGL Pekayon, merupakan salah satu warga yang berperan penting dalam manajemen pengelolaan lingkungan perumahan.

Pria berusia 62 tahun itu menghabiskan usia senjanya untuk mengedukasi para tetangga tentang ilmu manajemen sampah yang sempat dia enyam semasa muda dulu di Jerman.

Jiwa sosial merupakan syarat mutlak bagi seseorang yang ingin menjadi penggiat lingkungan tanpa memikirkan keuntungan materi.

Pengumpulan sampah dibagi atas tiga kategori, sampah organik, non organik dan sampah tidak layak untuk diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumurbatu, Bantargebang.

Sampah yang terkumpul itu kemudian dipilah berdasarkan manfaatnya. Non organik didistribusikan kepada Windi melalui unit kerjanya, sementara yang organik didistribusikan Donny kepada Sukowitono, Direktur Unit Komposting Yayasan GPL Pekayon, yang memproduksi sampah organik menjadi pupuk kompos.

Pengomposan digarap kakek berusia 66 tahun itu di sebuah bengkel Jalan Mahoni XIV RW01 Komplek Pondok Pekayon Indah, Kecamatan Bekasi Selatan. Bersama tiga pegawainya, kompos diproduksi dengan memanfaatkan fasilitas bantuan Bank Dunia senilai total Rp500 juta.

Untuk mendatangkan sampah organik bagi warga asli Malang itu bukan hal yang sulit, hanya diperlukan sosialisasi penghijauan lewat program penanaman pohon, maka dengan sendirinya sampah organik yang berasal dari dedaunan maupun ranting pohon akan bermunculan untuk diproduksi menjadi kompos.

“Kami banyak dapat bantuan pohon dari pemerintah dan juga perusahaan swasta yang terlibat aktif melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Kami bagikan gratis kepada warga untuk ditanam,” katanya.

Sampah itu kemudian diproduksi dengan lima mesin “clean composting”, dua kendaraan baktor, ruang produksi seluas 200 meter persegi, satu mesin cacah sampah, dan satu peralatan timbangan sampah berikut mesin ayaknya.

Bengkel itu mampu memproduksi dua ton produk kompos dari 200 meter kubik bahan sampah organik yang terkumpul dari warga setiap bulannya. Produk itu kemudian dijual kepada konsumen dari kalangan masyarakat umum, swasta, dan pemerintahan dengan harga bervariasi.

Sampah organik dengan kualitas bagus, dipilah oleh unit kerja produksi kerajinan tangan untuk dijadikan produk pakaian, aksesoris, hiasan rumah, dan lainnya.

Namun unit usaha tersebut saat ini seakan mati suri karena tidak memiliki pasar konsumen yang bagus. Produknya dianggap kuno dan kurang memiliki kreativitas yang unik.

Program pembelian pupuk kompos oleh Pemerintah Kota Bekasi setiap tahun masih menjadi angin segar bagi keberlangsungan usaha daur ulang sampah Yayasan PGL Pekayon.

Kompos yang dia klaim berkualitas di atas rata-rata produk pasar itu dibeli Dinas Kebersihan Kota Bekasi dengan harga Rp1.500 per kilogram.

“Tapi harga Rp1.500 itu masih dipotong Rp300 per kilogram, katanya untuk pajak. Jadi harga bersihnya hanya Rp1.200 per kilogram. Kalau boleh jujur, harga segitu belum menutupi operasional produksi kompos kami yang setiap bulannya butuh minimal Rp3 juta untuk membiayai listrik, solar, gaji tiga pegawai, serta kegiatan lainnya,” katanya.

Sumbangsih besar Apa yang dilakukan Sukowitono bersama warga Pondok Pekayon Indah boleh jadi kecil skalanya, tapi rintisan tersebut tak bisa dipungkiri memberikan sumbangsih besar di tengah setumpuk persoalan pengelolaan sampah perkotaan.

Data yang dihimpun melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan mencapai 175 ribu ton per hari atau setara dengan 0,7 kilogram per orang.

Pada 2014, data statistik sampah mencatat bahwa Indonesia menduduki negara penghasil sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.

Diperkirakan jumlah sampah di Indonesia akan terus meningkat jika penanganan sampah belum berjalan serius dan masih bersifat parsial. Diprediksikan pada 2019, produksi sampah di Indonesia bisa menembus angka 67,1 juta ton per tahun.

Warga Kota Bekasi saat ini tercatat turut menyumbang volume sampah nasional sebanyak 1.529 ton yang dibiarkan menumpuk di TPA Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, tanpa sistem pengolahan modern.

Kondisi TPA Sumurbatu yang kini telah kelebihan kapasitas diprediksi pemerintah setempat hanya sanggup menampung sampah hingga akhir Februari 2016.

Kepala Dinas Kebersihan Kota Bekasi Abdillah dalam sebuah kesempatan mengakui peran bank sampah di masyarakat saat ini turut berperan meredam sedikitnya 20 persen volume sampah yang sampai ke TPA.

Saat ini ada sekitar 500 kelompok masyarakat yang aktif mengelola lingkungan, termasuk di dalamnya kelompok bank sampah.

“Bank sampah sendiri saat ini berjumlah 122 unit yang tersebar di 12 kecamatan, namun tidak semuanya aktif,” katanya.

Abdillah mengaku telah berupaya mengatasi kelebihan kapasitas tonase sampah dengan menggabung zona 5D dan 5B agar sanggup menampung 1.529 kubik sampah setiap harinya.

“Saat ini kita sedang mengusahakan pembebasan lahan 3,6 hektare pada awal tahun ini untuk membangun zona 6 di TPS. Prosesnya sedang berjalan, mudah-mudahan lancar,” katanya.

Dia menyadari pembebasan lahan bukan solusi akhir permasalahan sampah Kota Bekasi. Alasannya, lonjakan jumlah penduduk karena banyaknya perumahan baru membuat volume sampah di Kota Bekasi sulit untuk berkurang.

Pihaknya terus berupaya maksimal melakukan pembinaan bagi para penggiat lingkungan, termasuk menjaga keberlangsungan usaha bank sampah. Salah satunya dengan program pembelian kompos hasil produksi masyarakat.

“Sepanjang 2015 total sembilan ton kompos sudah kita beli dari masyarakat. Kompos itu kita salurkan untuk kesuburan taman maupun penghijauan sekolah-sekolah,” katanya.

Sinergitas pemerintah dalam menjaga keberlangsungan usaha bank sampah juga dilakukan melalui penganggaran bantuan meja, timbangan, kartu rekening, fasilitas mesin pencacah, dan mesin pemilah di setiap bank sampah sepanjang 2016.

Bantuan modal juga akan digulirkan Dinas Kebersihan Kota Bekasi kepada pengelola bank sampah melalui kerja sama Bank Syariah Patriot. Tujuannya, untuk merangsang kreativitas mengolah sampah menjadi produk bermanfaat yang memiliki daya saing di pasaran.

Pihaknya juga sedang merencanakan pembentukan forum bagi penggiat lingkungan yang bertanggung jawab melakukan kontrol terhadap kegiatan daur ulang sampah di masyarakat.

“Forum itu juga akan menetapkan harga pasaran sampah yang akan dibeli oleh pemerintah maupun swasta. Besaran harga yang ditetapkan tidak boleh memberatkan, namun juga harus menguntungkan para produsennya,” katanya.

Sinergitas bersama antara pemangku kebijakan publik dan peran aktif masyarakat merupakan simbiosis positif dalam merespons pesan teladan yang ingin disampaikan Donny dan kawan-kawan kepada masyarakat dunia dari salah satu dinding bengkelnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara