24 Desember 2025
Beranda blog Halaman 41674

Rahim Budaya Pemimpin Pergerakan (Bagian 1)

Jakarta, Aktual.co — Untuk mudahnya, kita definisikan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku bersama yang dibentuk oleh sistem makna dan simbol yang menentukan cara manusia mendefinisikan dunianya (worldview). Budaya sebagai medium pembentuk makna (meaning-making medium), dalam perjuangannya untuk menyatakan diri (struggle for the real)  tidaklah terpisah melainkan berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya (ekonomi, politik), yang dengan sendirinya menjadi bagian dari perjuangan kuasa.

Dengan demikian, diskursus tentang “rahim budaya pemimpin pergerakan” mencoba membedah  “kantong-kantong” jaringan simbolik dan sistem signifikasi yang membentuk kerangka mental bagi kelahiran dan pembentukan karakter pemimpin pergerakan. Sebuah proses pembentukan kerangka mental yang penuh kontestasi dan relasi kuasa.
Setidaknya ada tiga simpul utama rahim budaya yang menjadi basis pembentukan pemimpin pergerakan. Pendidikan, praktik diskursif (discursive pratices), dan ruang publik (public sphere).

Pendidikan
Pendidikan dianggap penting bukan saja sebagai sumber legitimasi kultural bagi peran sosial seseorang, tetapi juga sebagai arena pergulatan kuasa. Pendidikan tidak hanya menjadi skemata bagi pembedaan kelas, namun juga menyediakan suatu prinsip fundamental bagi pemapanan suatu orde.

Seperti dinyatakan oleh Pierre Bourdieu, kelas yang dominan tidak menjalankan dominasi secara terang-terangan: dengan kata lain, kelas yang dominan tidak (serta-merta) menggunakan paksaan terhadap yang didominasi agar mereka bersedia memenuhi kehendaknya. Alih-alih, pengaruh dari kelas yang dominan dilembagakan dalam modal kultural dan ekonomi, yang dijalankan di seluruh lembaga-lembaga dan praktik-praktik kemasyarakatan dan terutama direproduksi oleh lembaga-lembaga dan praktik-praktik pendidikan (Bourdieu 1988: 87).

Dalam konteks inilah, pendidikan memainkan peranan yang penting dalam membangun habitus, yaitu skemata pengalaman dan persepsi yang bersifat kolektif (Bourdieu 1996: 101). Di sisi lain, Antonio Gramsci berargumen bahwa pertempuran demi melawan hegemoni niscaya membutuhkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang memungkinkan kelas yang didominasi bisa mendapatkan akses kepada pendidikan formal (Gramsci 1971: 29-43). Sebagai tambahan terhadap Bourdieu dan Gramsci, harus dikatakan bahwa hatta dalam sebuah sistem pendidikan tertentu sekalipun, bisa saja terjadi pergulatan kuasa yang saling berkompetisi. Ini terutama berlaku dalam konteks sistem pendidikan publik, terutama yang ada di negara-negara merdeka, karena secara teoretis sistem itu terbuka bagi orang-orang dari latar sosiografis yang berbeda-beda.

Karena pendidikan merupakan arena dari pergulatan kuasa, maka pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kuasa. Munculnya ilmu-ilmu humaniora, seperti yang dijelaskan dengan bagus oleh Foucault dalam bukunya, Discipline and Punish: The Birth of the Prisons  (1979a), telah menjadi instrumen sekaligus efek dari semakin meningkatnya intervensi-intervensi kuasa dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks Indonesia, awal introduski sistem pendidikan modern serta pengadopsian pengetahuan Barat bisa dilihat sebagai sebuah bagian dari dominasi kolonial, dan telah menciptakan sebuah hirarki sosial berdasarkan pada hirarki pendidikan dan pengetahuan yang bersifat kolonial. Hal ini memaksa kelompok-kelompok yang tersubordinasi untuk membentuk sebuah sistem sekolah alternatif dalam upayanya untuk merevitalisasi ‘pengetahuan-pengetahuan yang tersisihkan’ (subaltern knowledges).

Dengan adanya lebih dari satu sistem pendidikan yang diperkenalkan rezim kolonial di Hindia Belanda (Indonesia), pendidikan bisa dianggap baik sebagai sesuatu yang bisa menyatukan orang-orang dalam kelompok maupun sesuatu yang bisa memecah-belah orang ke dalam berbagai kelompok.

Praktik-praktik Diskursif
Praktik-praktik diskursif (discursive practices) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang penting sebagai sebuah medium dan instrumen dari pergulatan kuasa, perubahan sosial dan konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik di dalam maupun atas wacana. ‘Wacana (discourse) mentransmisikan dan memproduksi kuasa; wacana mengokohkan kuasa, namun juga melemahkan kuasa, membuat kuasa menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa’ (Foucault 1976: 101).

Maka, merubah praktik-praktik diskursif merupakan sebuah elemen penting dalam perubahan sosial. Wacana paling tidak memiliki tiga efek konstruktif. Yaitu, memberikan kontribusi bagi pembentukan ‘identitas-identitas’ sosial, bagi pembentukan ‘relasi’ sosial’ (yaitu relasi di antara orang-orang) dan bagi pembentukan ‘ideasional’ atau sistem-sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial (Fairclough 1999: 55-56, 64-65, 78-79).

Dalam kaitan ini, kita akan melihat bagaimana pertarungan-pertarungan dari berbagai kelompok inteligensia yang berlangsung dalam dan melalui praktik-praktik diskursif dan  untuk mengamati pengaruh dari sebuah wacana dominan pada suatu kisaran historis tertentu terhadap pembentukan identitas-identitas, relasi-relasi, dan ideologi-ideologi sosial dari generasi pemimpin pergerakan. Analisis wacana (discourse analysis) dalam studi ini akan juga berusaha untuk mengidentifikasi pengaruh dari buku-buku, jurnal-jurnal, koran-koran dan terbitan-terbitan lainnya terhadap reproduksi dan reformulasi identitas-identitas, ideologi-ideologi dan tradisi-tradisi politik pemimpin pergerakan.

Ruang Publik
Ruang publik (public sphere) dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana-wacana diekspresikan dan merupakan ruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Istilah ruang publik di sini merujuk pada domain kehidupan sosial tempat opini publik terbentuk.

Seperti diamati oleh Jürgen Habermas (1989), pembentukan tradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakan bagian dari kemunculan apa yang disebutnya sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) sekitar abad ke-17 dan ke-18. Ruang publik ini berpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra dari keluarga borjuis yang berorientasi pemirsa dan berlangsung di lembaga-lembaga sosial yang baru muncul dalam ranah publik: seperti klub-klub, majalah-majalah, jurnal-jurnal, kedai-kedai kopi, salon-salon dan ruang-ruang kafe lantai atas (cenacles). Ruang publik ini merupakan sebuah tempat pertemuan bagi lingkaran-lingkaran intelektual dari masyarakat (merkantil) Eropa yang terurbankan, di mana individu-individu perseorangan berbaur ‘demi berbincang secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional, sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif kohesif yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh’ (Eagleton 1997: 9).

Bentuk sosiabilitas baru ini, beserta dengan wacana rasional dan kritis yang tumbuh dalam lembaga-lembaga sosial yang ada dalam ruang publik, bergantung pada kumunculan kekuasaan negara-negara nasional dan teritorial yang tumbuh di atas basis perekonomian kapitalis merkantil awal. Proses ini kemudian melahirkan ide mengenai masyarakat yang terpisah dari penguasa (atau negara) dan mengenai ruang privat yang terpisah dari ruang publik (Habermas 1989: 23-6; Calhoun, 1992: 7).

Pada mulanya, ruang publik borjuis itu terdiri dari lapisan kecil masyarakat Eropa, terutama terdiri dari orang-orang terdidik dan hartawan, dimana para bangsawan (aristokrat) memainkan peran-peran utama. Mereka mengembangkan wacana secara eksklusif dengan penuh prasangka terhadap kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang lain. Habermas menyebut ruang publik ini sebagai ‘ruang publik borjuis’ (bourgeois public sphere) bukan hanya semata-mata atas dasar komposisi kelas dari para anggotanya. Alih-alih, dia menyatakan bahwa munculnya sebuah masyarakat borjuis yang baru di sekitar abad ke-17 di Eropa melahirkan sebentuk ruang publiknya yang khas. Dalam perkembangan lebih jauh, ruang publik borjouis ini mengalami perluasan yang terus-menerus sehingga mencakup lebih banyak dan lebih banyak lagi partisipan (dan juga berkembang organisasi-organisasi berskala besar sebagai mediator-mediator bagi partisipasi individu). Situasi ini menyebabkan degenerasi terhadap kualitas dari wacana publik (Habermas 1989: 22-23; Calhoun 1992: 3, 7).

 Dalam ruang publik yang ideal, dalam pandangan Habermas, terjamin adanya kesetaraan serta argumen yang kritis dan rasional. Para partisipan dalam wacana publik tidak terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa atau uang. Para warga negara bisa mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi dari negara. Pengaruh ini, untuk sebagian besar, bersifat informal. Pengaruh ini menjadi bersifat formal secara periodik hanya selama pemilihan umum. Namun, dalam masyarakat kontemporer, dia berpandangan bahwa ruang publik tak lagi berfungsi sebagai domain bagi debat rasional. Ruang publik liberal, meskipun mengandaikan adanya partisipasi dari semua orang, pada kenyataannya terbatas pada para hartawan. Pada abad kesembilanbelas, ruang publik itu meluas melampaui batas-batas semula sehingga mencakup pula orang-orang dari kelas buruh. Dengan tumbuhnya negara kesejahteraan (the welfare state), secara khusus, perubahan-perubahan ini akan memiliki arti bahwa ruang publik tak lagi menjadi lokasi diskusi di antara individu-individu perseorangan. Ruang publik telah menjadi daerah konflik kepentingan di antara kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi (Habermas 2000: 289-294; Nash 2000: 283-284).

Kelahiran ‘ruang publik Indonesia’ (Hindia Belanda) modern pada awal abad ke-20 menunjukkan beberapa kesamaan dan beberapa perbedaan dengan yang terjadi di Eropa. Sama halnya dengan ruang publik Eropa awal, ruang publik ‘Indonesia’ awal terdiri dari lapisan kecil penduduk Hindia Belanda, dan terutama terdiri dari orang-orang yang terdidik (dari keluarga-keluarga bangsawan dan borjuis kecil) dan para bangsawan, dimana pengaruh yang kuat dipegang oleh bangsawan lama. Generasi awal orang-orang Hindia Belanda yang berpendidikan modern juga berwacana secara eksklusif dengan penuh prasangka terhadap kepentingan-kepentingan, ide-ide, dan nilai-nilai dari kelompok-kelompok konservatif. Namun, sementara kemunculan ruang publik dalam konteks Eropa merupakan bagian organik dari kemunculan kelas borjuis (yang ber-uang), dalam konteks Hindia Belanda, kemunculan itu merupakan bagian dari kemunculan strata baru inteligensia. Jadi, lebih tepat untuk menyebut ruang publik ‘Indonesia’ (modern) yang awal sebagai ‘ruang publik inteligensia’ ketimbang sebagai ‘ruang publik borjuis’.

Lebih dari itu, sementara ruang publik awal dalam konteks Eropa terpusat di seputar wacana kritis mengenai karya-karya sastra, ruang publik awal dalam konteks ‘Indonesia’ terpusat di seputar wacana mengenai isu kemadjoean, yaitu bagaimana bisa mengejar kemajuan dari peradaban-peradaban lain, terutama peradaban Barat. Yang terakhir namun juga penting, derajat kebebasan dari ruang publik ‘Indonesia’ yang awal jauh berbeda dari hal yang sama dari ruang publik Eropa. Hal ini terjadi karena ruang publik Indonesia awal beroperasi di bawah dominasi kolonial. (Bersambung)

Oleh: Yudi Latif,  Chairman Aktual

Gelar Rapat dengan Pejabat ESDM, Rini Bahas BBM dan Listrik

Jakarta, Aktual.co — Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menggelar rapat bersama Menteri ESDM, Pejabat Pertamina dan Direktur PLN.

Rini mengatakan, selain membahas mengenai BBM subsidi, dalam rapat tersebut juga mengkaji soal penambahan kapasitas listrik, dengan mendorong proyek-proyek pembangkit listrik.

“Kita lihat banyak proyek-proyek pembangkit listrik yang sekarang tersendat, karena persoalan kontraktornya yang tidak meneruskan, ada unprestasi. Jadi saya dengan Pak Sudirman, kita memutuskan untuk didahulukan bagaimana caranya. Kita saling mendukung,” kata Rini saat ditemui di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (17/11).

Selain itu, Rini juga mengaku bahwa pihaknya sedang merancang sistem untuk melindungi pegawai PLN dari jeratan-jeratan hukum. Akan tetapi, Rini enggan berkomentar lebih rinci mengenai hal-hal yang diungkapkannya secara singkat itu kepada awak media.

Rini berdalih bahwa dirinya sedang terburu-buru, sebab telah ditunggu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara untuk menggelar rapat kabinet.

“Kita ditunggu Presiden di Istana. Nanti saja yah,” kata Rini sambil berjalan masuk ke dalam mobilnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka

Perwakilan KIH-KMP Tanda Tangani Perjanjian Damai

Pramono Anung dan Olly Dondokambey (KIH) serta Hatta Rajasa dan Idrus Marham (KMP) menandatangani lima butir perjanjian damai di gedung DPR, Jakarta, Senin (17/11/2014). Secara garis besar, untuk mencapai kesepakatan ini, akan ada dua hal yang direvisi dalam UU MD3. Pertama adalah mengenai penambahan wakil ketua komisi di setiap alat kelengkapan dewan untuk mengakomodir 21 kursi pimpinan AKD yang diminta oleh KIH. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Sisa Anggaran Hingga Rp15 Triliun, BPKD Tak Khawatir

Jakarta, Aktual.co —Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengaku tak khawatir dengan adanya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) dari APBD DKI tahun 2014 yang jumlahnya mencapai Rp15 triliun, akibat dari rendahnya penyerapan anggaran.
Kata dia, sisaan anggaran itu akan tetap digunakan untuk mendanai proyek yang masih berjalan.
“Saya sih seneng-seneng saja, uang masih banyak,” ujarnya, di Balaikota DKI, Senin (17/11).
Banyaknya Silpa di APBD DKI 2014, kata Heru, diakibatkan oleh adanya beberapa proyek yang mangkrak, sehingga anggarannya dikembalikan. Seperti proyek di Dinas Perumahan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Kesehatan.
“Iya, contohnya kan soal program Kampung Deret dikembalikan karena pendataannya tidak sesuai. Kemudian Dinas Kesehatan yang alat pemadam kebakaran itu dikembalikan juga sekitar Rp 400 miliar,” ujarnya.
Sedangkan di Dinas Perumahan ada program yang data di lapangan tidak sesuai. “Untuk Dinas Perhubungan dia masih belum berani karena kasus yang kemarin, jadi masih gunakan bus yang ada,” tambahnya.
Sebagai informasi, penyerapan APBD DKI Jakarta tahun 2014 hingga Oktober ini baru mencapai 31 persen dari total anggaran senilai Rp72 triliun.
Sebagai contoh pada Dinas Perhubungan ada anggaran pembelian untuk bus sedang dan bus Transjakarta sebesar Rp 3,2 triliun. Anggaran ini urung digunakan dan dibiarkan menjadi silpa karena terkuaknya kasus kegagalan dalam pembelian 656 unit bus sedang dan bus Transjakarta yang menyeret tiga orang pejabat Dishub kala itu, yakni mantan Kepala Dishub Udar Pristono, mantan Sekretaris Dinas Drajad Adhyaksa dan Ketua Lelang Setio Tuhu.

Artikel ini ditulis oleh:

SMI: Kenaikan BBM Akibat Rezim Pro Pasar Bebas

Medan, Aktual.co — Puluhan massa Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menggelar aksi unjuk rasa memperingati ‘International Student Day’ (Hari Pelajar Internasional) di depan kampus UISU, jalan Sisingamangaraja Medan, Senin (17/11).
SMI menyatakan penolakannya terhadap rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilakukan rezim Jokowi-JK. Pasalnya, penaikan harga BBM adalah bukti bahwa rezim pemerintahan yang kini berkuasa pro pasar bebas.
“Dengan dalih problem beban anggaran, alasan klasik yang digunakan sejak rezim SBY hingga rezim Jokowi-JK saat ini,” ujar pimpinan aksi, Ivo, dalam orasinya.
Menurut Ivo, alasan tersebut biasanya dibarengi dengan tindakan penjinakan, misalnya subsidi BBM yang dialihkan pada rakyat melalui alokasi dana tunai.
“Baik rezim SBY dan Jokowi tidak pernah jujur menunjukkan kepada masyarakat bahwa pengurangan yang berujung penghapusan subsidi adalah dampak dari Indonesia yang dijadikan perpanjangan tangan kepentingan kapitalis-imperialis yang mendorong agar energi dan migas Indonesia di liberalisasi,” tandasnya.
BBM sebagai tulang punggung perekonomian negara tentu sensitif jika mengalami kenaikan. Dan akan berdampak kepada seluruh sektor kehidupan. Alasan pemerintah menaikkan BBM dianggap sebagai ilusi untuk menutupi kebobrokan sistem yang digunakan pemerintah yang pro pasar bebas. 
Dalam aksinya, puluhan mahasiswa membakar ban didepan kampus sekaligus menolak pemberlakuan upah murah bagi kalangan buruh, kapitalisasi pendidikan, dan penolakan terhadap pasar bebas dan MEA. 

Artikel ini ditulis oleh:

Dilantik atau Tidak, KMP di DPRD DKI Akan Ajukan Interpelasi ke Ahok

Jakarta, Aktual.co —Ketua Presidium Koalisi Merah Putih (KMP) DKI Jakarta, M. Taufik memastikan mereka akan tetap mengajukan Hak Interpelasi ke Plt Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Hak Interpelasi atau hak memberi keterangan legislatif ke eksekutif, akan diajukan meskipun nantinya Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI definitif.
“Hak Interpelasi dan pelantikan Ahok itu urusan yang berbeda, lain hal. Interplasi akan tetap berjalan kalaupun Ahok dilantik,” ujar Wakil Ketua DPRD DKI itu, di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (17/11).
Saat ini, seluruh anggota dewan dari KMP sejumlah 57 orang telah menandatangani Hak Interpelasi terhadap Ahok. “Sudah selesai dirampungkan tanda-tangan semua anggota KMP.” 
Ditegaskan Taufik, pengajuan Hak Interpelasi atau hak bertanya dari DPRD kepada Ahok adalah sesuai Undang-Undang. Sehingga dia membantah kalau disebut penggunaan hak itu adalah semata demi menggulingkan Ahok dari jabatannya sekarang. 
“Itu baru menggunakan hak interplasi, belum pakai hak angket. Belum lagi pakai hak Menyatakan pendapat. Jadi ada alasan kuatlah untuk kita,” ujarnya. 
Empat orang Wakil Ketua DPRD DKI yang berasal dari fraksi-fraksi KMP juga telah menandatangani surat pengajuan interplasi kepada Ahok. Yakni Abraham Lunggana dari Fraksi PPP, Feriyal Sofyan dari Fraksi Demokrat, Triwicaksana dari Fraksi PKS, dan M. Taufik dari Gerindra.

Artikel ini ditulis oleh:

Berita Lain