Pada akhir tahun, banyak orang membuat renungan, harapan, dan target untuk pencapaian tahun berikutnya. Nah, untuk akhir 2015 kali ini ada petisi atau seruan khusus, yang disampaikan oleh para pengajar, peneliti dan pemerhati
agraria, lingkungan dan kebudayaan. Petisi ditujukan pada Presiden Joko Widodo.
Petisi ini berkaitan dengan penanganan krisis ekologi dan sosial di Pulau Jawa. Jumlah penandatangan petisi ini tidak tanggung-tanggung, 258 orang. Jumlah yang besar itu menunjukkan, mereka sangat concern dengan kondisi ekologi dan sosial di Pulau Jawa.
Petisi bertanggal 29 Desember 2015 itu dimulai dengan paparan keprihatinan. Mengikuti perkembangan terkait dengan konflik agraria dan lingkungan di berbagai pelosok, khususnya di Pulau Jawa, sebagai akibat rencana pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap, dan penambangan bahan mineral; para penanda tangan petisi menyatakan keprihatinan yang mendalam.
Mereka mengatakan, Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran untuk ukuran ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’ dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Menurut penanda tangan, meningkatnya konsumsi bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan karena kebutuhan lokal, tetapi karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor keuangan dan perbankan. Daratan kepulauan Indonesia beserta perairannya dan kesatuan sosial ekologis yang ada telah secara sistematis mengalami perusakan.
Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain ditengarai masih belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial pada rakyat khususnya masyarakat terdampak; beberapa bahkan masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun.
Maka, menurut mereka, rencana pembangunan industri semen akan menyebabkan krisis ekologi dan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah mengindikasikan hal ini.
Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang, sebagai misal, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT itu merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegunungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10% di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian.
Jika nilai ini divaluasi sebagai potensi ekonomi, maka nilai air yang dihasilkan akan melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan, yang justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber mata air yang ada.
Menurut para penanda tangan, rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektarnya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar seluas 484,96 hektar. Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya pertanian. Dengan produktivitas enam ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang akan terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Namun, dengan pembangunan pabrik semen akan terdapat penurunan pendapatan.
Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor dan kekeringan yang tinggi. Sekitar 80% kabupaten/kota mempunyai risiko banjir yang tinggi; 93% mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi. Selain itu, kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh Perum Perhutani.
Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Di tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta hektar DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.
Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar.
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Dalam satu dasawarsa terakhir ini setidak-tidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.
Persentase keluarga miskin yang bermukim di desa hutan lebih besar dari persentase keluarga miskin di Indonesia. Di Jawa-Madura saat ini terdapat 5.400 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terdiri atas lima juta kepala keluarga, dan 60% di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. BPS (2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Jumlah ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.
Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan terwujud jika konflik agraria tidak diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil, penguatan ekonomi rakyat dan partisipasi masyarakat yang hakiki. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kemauan politik serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat yang rentan, utamanya masyarakat tak bertanah (tunakisma) dan tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumber daya alam.
Kepemimpinan Presiden Jokowi diharapkan untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, dan di Pulau Jawa khususnya. Dengan dukungan pemuka agama, akademisi dan masyarakat sipil, Presiden diharapkan dapat segera mengambil semua langkah yang diperlukan, untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasinya yang tepat.
Atas dasar itu, para penanda tangan petisi mengusulkan kepada Presiden Jokowi, agar memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan, secara transparan dan akuntabel.
Presiden perlu menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut, kecuali untuk kepentingan bencana alam. Selain itu, menugaskan juga Menteri LHK untuk memeriksa izin lingkungan dan tukar-menukar kawasan hutan guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat.
Presiden perlu menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR) untuk mengkaji ulang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi, yang diduga dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip keadilan lingkungan. Selain itu menugaskan juga Menteri ATR untuk mengkaji ulang proses pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Presiden diminta menugaskan Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan badan-badan usaha milik negara lainnya, terkait keabsahan tukar-menukar dan pinjam pakai kawasan hutan.
Presiden perlu menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas dan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa. Serta memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumberdaya alam yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI, dan membawanya ke dalam proses hukum yang terbuka dan independen. ***
Artikel ini ditulis oleh: