Ketua KODI DKI Jakarta, KH. Jamaluddin F Hasyim, SHI, MH

Sepertinya ada upaya pengkerdilan istilah moderasi atau wasathiyah Islam ke arah pemahaman sepihak kelompok tertentu. Apalagi ada yang mengaitkan moderasi itu dengan liberalisasi, meskipun harus diuji kebenarannya.

Gegara kasus Buya Syakur, istilah moderasi beragama sekarang dipersepsikan negatif oleh banyak orang, padahal moderasi itu adalah wasathiyah yang merupakan jatidiri Islam itu sendiri. Disinilah saya menyebutnya dilema moderasi, karena saking lenturnya bisa ditafsirkan siapa saja, dan dimasuki muatan ideologi yang sebenarnya tidak moderat.

Ketimpangan yang terjadi, moderat seakan hanya berhadapan dengan radikalisme agama, padahal ia juga dirongrong oleh liberalisme agama yang sering berlindung dibalik jubah moderat. Penganut Syiah pun, kelompok yang sangat berbeda dari Aswaja, saat ini seakan masuk dalam barisan yang sama. Memang moderasi agama tidak melulu sama dengan Aswaja An-Nahdliyah, tetapi kerancuan itu tetaplah terjadi. Narasi utama dalam moderasi itu adalah narasi yang dikembangkan aktivis liberal, meskipun mereka menisbatkan diri sebagai kaum Nahdliyyin.

Hal ini juga terjadi di NU, seakan pemahaman Aswaja An-Nahdliyah yang benar adalah yang menurut versinya. Padahal spektrum Aswaja sangat luas, lihat saja, dalam aqidah, syariah dan tasawuf rujukannya tidak tunggal. Anda boleh Asy’ary, boleh juga Maturidy, bahkan aqidah Ahlul Hadits.

Dalam syariah lebih luas lagi, meskipun Mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) yang resmi dipakai, namun pendapat Imam lain seperti Al-Laits, Ats-Tsaury, bahkan Ibnu Taymiyah pun masih diambil pendapatnya.

Dalam tasawuf juga sama, ada Imam Al-Ghazali dan Al-Junaid Al- Baghdadi. Dalam Risalah Ahlussunah wal Jamaah karya Hadrotus Syekh KH Hasyim Asy’ari, yang disebut adalah Imam Al-Ghazali RA dan Imam Asy-Syadzili QS. Apalagi kalangan thariqah, panutannya adalah Mursyid Kamil masing-masing thariqah, apakah itu Syekh Naqsyabandi QS, Syaikh Abdul Qadir Jailani QS, Syaikh Asy-Syadzili QS, Syaikh Ahmad Tijani QS, dan lain-lain.

Singkatnya, penyeragaman pemahaman tentang moderasi beragama yang terkesan dipaksakan selama ini perlu ditinjau kembali. Semua yang sifatnya dipaksakan mungkin efektif dalam waktu singkat, namun tidak akan kokoh sebagai legacy bagi generasi mendatang. Belajarlah dari indoktrinasi ala Orde Baru yang hasilnya tidak berumur panjang.

 

KH. Jamaluddin Faisal Hasyim, Ketua Koordinasi Dakwah Islam (KODI) Provinsi DKI Jakarta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: As'ad Syamsul Abidin