Jakarta, Aktual.com — Pemerintah Indonesia berencana melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio pada 8-15 Maret 2016, yang bertujuan untuk mendukung tercapainya eradikasi polio di seluruh dunia pada akhir 2020 mendatang.

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat dunia sudah berhasil melakukan eradikasi penyakit cacar tahun 1980, dan kini dunia juga berupaya agar penyakit polio hilang di tahun 2020.

Sidang World Health Assembly tahun 2012 menegaskan bahwa eradikasi polio merupakan kedaruratan kesehatan masyarakat global.

Demikian dilansir dalam laman poliotoday.org, virus polio pertama kali diidentifikasi tahun 1789 saat dokter asal Inggris, Michael Underwood, dengan menyebut gambaran klinis yang dikenal sebagai polio.

Selanjutnya, dokter Jakob Heine (1840) dan Karl Oskar (1890) mencatat sejumlah gejala polio yang banyak menyerang anak-anak. Infeksi virus poliomyelitis bisa menyebabkan lumpuh layu.

Virus polio ada di tenggorokan dan usus manusia sehingga bisa menular melalui air liur dan tinja. Jika terkena sinar matahari, virus itu akan mati dalam hitungan hari.

Sekitar pertengahan abad XX, virus polio menyebabkan ribuan anak di sejumlah negara industri lumpuh setiap tahun. Wabah polio menjadi pandemi di Eropa, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru.

Di Amerika Serikat pada 1952, epidemi polio terburuk ditandai hampir 58.000 kasus, 3.145 pasien meninggal dan 21.269 pasien cacat.

Dalam perkembangannya, penyebaran virus polio bisa dieliminasi setelah vaksin polio pertama yang aman dan efektif sukses dikembangkan oleh Dr Jonas Salk pada tahun 1955.

Sebelum vaksin tersedia luas, rata-rata kasus polio di AS lebih dari 45.000 pasien. Pada tahun 1962, angka itu turun menjadi 910 kasus.

Namun, penularan virus polio masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara-negara berkembang. Pada 1970-an imunisasi rutin dikenalkan di dunia sebagai bagian dari program imunisasi nasional.

Sementara itu, inisiatif eradikasi polio global diluncurkan pada sidang pleno anggota WHO (World Health Assembly/WHA) 1988. Saat itu, polio menyebabkan kelumpuhan 1.000 anak per hari.

Dunia Bebas Polio Sejak ada inisiatif global, 2,5 miliar anak diimunisasi polio hasil kerja sama 200 negara dan 20 juta relawan, didukung dana global lebih dari 9 miliar dolar AS.

Inisiatif eradikasi atau bebas polio global berhasil menekan angka polio lebih dari 99 persen. Jumlah negara endemik polio pun turun drastis dari 125 negara jadi tiga negara.

Sejak Agustus 2014, virus polio liar hanya terdeteksi di Afganistan dan Pakistan, sedangkan di Nigeria sebagai negara endemik polio ketiga, tidak lagi ditemukan kasus polio sejak Juli 2014 lalu.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Margaret Chan menyatakan, bahwa WHO memutuskan menarik vaksin polio oral (OPV) secara bertahap di semua negara. Dalam strategi global eradikasi polio, pada akhir 2015 OPV ditarik dan diganti vaksin polio suntik mengandung virus tak aktif.

Selain itu mulai tahun 2016, negara-negara anggota WHO juga menarik komponen serotipe 2 dalam vaksin polio trivalen (komponennya terdiri dari tiga tipe: 1, 2, dan 3) yang dipakai dalam sistem imunisasi rutin secara global.

“Vaksin itu akan digantikan vaksin polio bivalen (tipe 1 dan 3). Inisiatif ini tak boleh gagal,” tutur Margaret Chan.

Target dunia bebas polio tentu hanya bisa dicapai melalui solidaritas global. Pelaksanaan resolusi strategi eradikasi polio tahap akhir 2013-2018 butuh jaminan ketersediaan vaksin sesuai ketentuan WHO dan kesiapan infrastruktur kesehatan di negara masing-masing.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, M Subuh mengatakan, dalam pertemuan di WHO, Indonesia mengusulkan agar waktu penarikan vaksin polio oral disesuaikan dengan kesiapan setiap negara.

“Indonesia setuju resolusi strategi eradikasi polio 2013-2018, tapi kita tidak sepakat jadwal implementasinya,” ucapnya.

Indonesia minta pengecualian terkait jadwal penarikan vaksin polio oral. Alasannya, kondisi geografis, waktu sosialisasi, dan penguatan kapasitas tenaga kesehatan. Jika siap, program dilakukan sesuai resolusi.

Menurut M Subuh, perubahan cara mengimunisasi juga jadi alasan karena selama ini vaksin polio oral diberikan dengan meneteskan ke mulut anak di bawah lima tahun. Adapun, vaksin polio dengan komponen virus tak aktif atau mati diberikan dengan cara disuntikkan.

Sedangkan, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menambahkan, pemerintah juga membutuhkan kesiapan industri vaksin dalam negeri, karena selama ini Biofarma memproduksi OPV untuk kebutuhan dalam negeri dan mengekspornya.

“Butuh waktu mengalihkan produksi dari OPV trivalent jadi vaksin polio bivalent. Kami ingin tetap mandiri dalam pengadaan vaksin polio,” ujar Menkes.

Polio di Indonesia Kementerian Kesehatan menyatakan virus polio liar sudah tidak lagi ditemukan sejak 1995. Namun, untuk meyakinkan hal itu, pemerintah memutuskan menggelar Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada 1995, 1996, dan 1997. Bahkan, di sebagian wilayah, PIN diulang tahun 2000, 2001, dan 2002.

Meskipun demikian, pada 2005 penyakit polio kembali muncul di Tanah Air. Penularan virus terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang diduga sebagai akibat penurunan cakupan imunisasi polio.

Saat itu, 16 anak positif terinfeksi virus polio liar, dan ditemukan 13 kasus lumpuh layu mendadak (acute flaccid paralysis/AFP).

Kasus polio tersebut berkembang menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyerang 305 orang dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006. KLB ini tersebar di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi.

Selain itu, juga ditemukan 46 kasus “Vaccine Derived Polio Virus” (VDVP) di mana 45 kasus di antaranya terjadi di semua kabupaten di Pulau Madura dan satu kasus terjadi di Probolinggo, Jawa Timur.

Setelah dilakukan “Outbreak Response Immunization” (ORI), dua kali “mop-up”, lima kali PIN dan dua kali sub-PIN, KLB dapat ditanggulangi sepenuhnya.

Kasus virus polio liar terakhir yang mengalami kelumpuhan ditemukan pada tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam.

Namun, sejak 2006 sudah tidak ada lagi kasus polio dan Indonesia dinyatakan bebas polio pada 27 Maret 2014. Namun virus ini bisa menyebar lagi ke Indonesia karena ada dua negara yang belum bebas polio yaitu Afghanistan dan Pakistan.

Selain itu, belum optimalnya pemantauan terhadap penyakit itu di berbagai daerah membuat pemerintah Indonesia tidak mau ambil risiko dan tetap melaksanakan PIN Polio pada 2016.

Direktur Surveillance dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Dr Jane Soepardi menambahkan, masih banyak ditemukan kantong-kantong yang tersebar pada hampir seluruh provinsi yang belum terjangkau imunisasi polio sehingga pada PIN 2016 harus bisa menjangkau lebih dari 95 persen bayi di Indonesia.

Dia menjelaskan PIN Polio 8-15 Maret 2016 dilaksanakan dengan pemberian vaksin aktif melalui mulut dua tetes setiap anak usia 0 sampai 59 bulan tanpa melihat status imunisasinya.

Setelah kegiatan itu maka pada April 2016 akan dilakukan penggantian jenis vaksin “trivalent oral polio vaccine” (TOPV) ke “bivalent oral polio vaccine” (BOPV).

Kemudian pada Juli 2016, akan dilakukan introduksi jenis vaksin “inactivated polio vaccine” (IPV) atau vaksin dengan virus inaktif yang diberikan melalui suntikan kepada bayi usia empat bulan.

Ia meminta seluruh pemerintah daerah terus melakukan sosialisasi dan kesiapan sarana agar petugas PIN mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil.

“Imunisasi wajib diberikan pada anak dan merupakan hak anak. Tidak boleh ada orangtua yang melarang sang anak mendapat vaksin. Bahkan, orang lain pun tidak boleh menghalang-halangi anak diimunisasi,” imbuhnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara