Analisis CORE pada Paruh Pertama 2018 Pertumbuhan Ekonomi
Pakar Ekonomi dari CORE menilai perkembangan hingga semester pertama, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di tahun ini mendapat tantangan yang semakin berat akibat meningkatnya tekanan eksternal. Selain kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar Rupiah akibat penaikan suku bunga acuan the Fed, perang dagang yang mengalami eskalasi akhir-akhir ini menjadi tantangan baru di tahun ini.
Dari sisi Industri manufaktur, Ekonom Senior Ina Primiana mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang triwulan II-2018 naik sebesar 1,49% (q-to-q) terhadap triwulan I-2018. Industri yang mengalami kenaikan produksi tertinggi adalah industri pengolahan tembakau, yaitu naik 10,31%. Sedangkan industri yang mengalami penurunan terbesar adalah industri barang galian bukan logam, yaitu turun 8,47%.
“Industri manufaktur yang mengalami pertumbuhan produksi tertinggi adalah industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, naik 27,73%. Industri karet, barang dari karet dan plastik, naik 17,28%. Industri minuman, naik 15,41%. Industri pakaian jadi, naik 14,63%. Industri alat angkutan lainnya, naik 12,34%,” ujar dia kepada wartawan, Selasa (2/8).
Sedangkan produk yang dieskpor masih belum berasal dari produk industri bertumbuh tinggi, artinya industri yang tumbuh saat ini hanya untuk memenuhi permintaan domestik. Ekspor pada Industri pengolahan turun sekitar 3 persen ke 71,59 persen. Namun ekspor tambang naik dari 13,58 menjadi 16,80 persen. Begitu pula dengan migas, naik dari 9,51 persen menjadi 9,81 persen.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal menilai pertumbuhan ekonomi semester 1 2018 akan mencapai 5,1 persen. Hal tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga yang mulai tumbuh lebih cepat pada triwulan kedua. Selain itu, belanja pemerintah tinggi akibat realisasi belanja bantuan sosial, belanja barang dan belanja pegawai.
“Pertumbuhan investasi berpotensi melambat akibat perlambatan investasi pada sektor migas, buruknya realisasi belanja modal pemerintah, pelaku usaha yang cenderung wait n see menjelang tahun politik dan meningkatnya tekanan global,” jelas Faisal.
Konsumsi masyarakat terbesar disokong oleh makanan dan minuman yang mencapai 36,71 persen, kemudian disusul oleh transportasi dan komunikasi mencapai 24,72 persen. Bahkan pada periode Januari-Juni 2018, konsumsi sepedamotor naik 20 persen, dari -8,85 persen pada 2017 menjadi 11,19 pada 2018.
Salah satu andalah Pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur. Namun apabila dilihat dari salah satu komponen semen, penjualan domestik hanya turun tipis dari -1,8 menjadi -1,2 persen. Begitu pula dengan ekspor, turun drastis dari 418,2 persen menjadi 53,5 persen.
“Ada yang menarik, pergeseran proporsi pengeluaran masyarakat. Proporsi konsumsi meningkat, namun tabungan berkurang,” jelasnya.
Terkait dengan kebijakan moneter dan perbankan, direktur riset CORE, Piter Abdullah mengungkapkan defisit neraca perdagangan masih terjadi di paruh pertama 2018. Hasil pertanian menyokong -1,57 dan migas -5,01. Tertinggi dialami oleh hasil industri yang mencapai -7,85. Begitu pula dengan defisit neraca transaksi berjalan -3,67.
“Akibat upaya pemerintah untuk meredam anjloknya rupiah, cadangan devisa menurun sebesar USD12,14 miliar sejak Januari 2018, dari USD131,98 miliar menjadi USD119,84 miliar,” tegasnya.
Meskipun Indonesia dihadapkan pada twin defisit, namun dirinya optimis pemerintah bisa melewati hal tersebut dengan selamat.
“Secara struktur ekonomi kita memang lemah. Ekonomi kita gampang terkena shock, dan ini kelemahan kita sejak dulu. Rupiah memburuk, trade balance deficit, cadangan devisa yang menurun, menurut saya menunjukkan adanya tekanan yang besar terhadap perekonomian kita,” jelasnya.
Selanjutnya, Jokowi Akui Ada Masalah Fundamental Ekonomi
Artikel ini ditulis oleh:
Eka