George Soros dan Biang Keladi runtuhnya Ekonomi Asia

Mengingatkan kembali pada awal kepemimpinan, salah satu orang terkaya di dunia, George Soros pernah menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta Selasa (30/12/2014). Dalam pertemuan tersebut, keduanya mengaku hanya membicarakan topik umum yaitu mengenai kondisi ekonomi global ke depan.

‎”Saya (hanya) bisa mengatakan bahwa kami telah melakukan pembicaraan ekstensif, mendiskusikan situasi keuangan global dan rencana pemerintah (AS) ke depan‎,” kata George Soros, Selasa (30/12/2014).

Kebijakan pemerintah AS ke depan menjadi sangat penting bagi Indonesia mengingat sebagai negara berkembang, Indonesia masih mengandalkan terhadap investasi asing.

Untuk diketahui, George Soros dijuluki the man who broke the Bank of England (orang yang membangkrutkan Bank Sentral Inggris) karena pada Rabu Hitam 16 Desember 1992 memperoleh keuntungan US$ 1 miliar setelah menjatuhkan poundsterling meskipun Bank of England sudah mengucurkan dana US$ 3,3 miliar untuk mempertahankan poundsterling dari gempuran Soros Di London. Sedangkan Soros versi Indonesia menutup contract for difference (CFD) US$ 10 miliar hanya dengan modal US$ 250 juta untuk meng-corner rupiah dengan strike position 13.800 per dolar AS.

Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli mengungkapkan Soros sebagai sosok yang bertanggungjawab dalam memukul Thailand dan menyebabkan krisisnya berdampak sistemik hingga ke Indonesia. Sebagai seorang spekulan, Soros hanya melihat peluang keuntungan dari rontoknya nilai mata uang baht.

“Soros melihat kondisi Thailand. Defisit transaksi berjalan semakin besar dan mata uangnya overvalued sampai 15 persen, lebih tinggi dari Indonesia. Maka, dihajarlah mata uang Thailand, Thailand kena krisis,” jelasnya.

Namun ‘dosa’ Soros yang tidak bisa diampuni adalah semakin menjamurnya spekulan yang mengikuti jejaknya. Pasalnya, kisah sukses spekulan menginspirasi pelaku pasar lainnya. Hanya dalam dua bulan saja, nilai tukar rupiah terpapar habis-habisan.

Pada Agustus 1997, Indonesia harus menanggalkan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali menjadi mengambang bebas. Nilai tukar hancur lebur. Pertumbuhan ekonomi tak karuan.

“Ekonomi Indonesia hancur dari rata-rata 6 persen menjadi minus 13 persen karena fundamental lemah,” imbuh dia.

Selanjutnya, EPILOG

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka