Populis dan Politis, So What?
Direktur INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan nilai tukar rupiah dipatok sebesar Rp14,400 pada RAPBN 2019. Sedangkan APBN 2018 dipatok Rp13,400 per dolar AS. Penetapan nilai tukar harus mendekati nilai realistis karena mempengaruhi struktur pada APBN terutama dari belanja penyediaan subsidi ditengah lonjakan harga minyak dunia.
“Perlu diperhatikan oleh pemerintah, nilai tukar rupiah ini mempunyai konsekuensi terhadap belanja, terutama dari subsidi. Tidak mungkin semua subsidi dibebankan kepada BUMN, Pertamina dan PLN sudah terseok-seok. Sekarang minyak dunia sudah naik. Maka dari itu terdapat potensi tantangan defisit yang berdampak kepada nilai tukar. Jangan lupa, saat ini pun nilai tukar telah menyentuh angka Rp14.800 per dolar AS. Jadi dengan struktur RAPBN itu, saya meyakini nilai tukar akan selalu bergerak di atas asumsi yang ada,” tutur Enny.
Untuk diketahui, baik nota keuangan maupun APBN2018 dan RAPBN2019 telah melalui pembahasan yang panjang di DPR. Ekonom sekaligus rektor Universitas Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko menilai APBN kalaupun bersifat politis itu sah-sahnya, terserah pemerintah dan DPR.
“So What jika bermuatan populis/politis,” singkatnya.
Menurutnya, isu besaran depresiasi rupiah lebih penting ketimbang levelnya. Meski kurs rupiah hampir menyentuh Rp15.000 per dollar AS, besaran depresiasi rupiah sejak awal tahun masih di bawah 10%. “Sekitar sembilan koma sekian persen sejak awal tahun,” kata Agustinus di Hotel Mandarin Oriental, Rabu (5/9).
Persoalan pelemahan nilai tukar rupiah juga bukan pada levelnya. Melainkan sejauh mana dampak pelemahan terhadap sektor riil. “Apakah sudah mulai membuat (harga) naik? kalaupun naik, sangat marginal karena depresiasinya masih di bawah 10%,” tambah dia.
Sedangkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai pelemahan rupiah bukan pada levelnya, namun yang lebih penting adalah sejauh mana pergerakan nilai tukar bisa diproyeksi. Sebab, hal ini akan mempengaruhi kerja sektor riil.
“Kalau tidak bisa diprediksi, pengusaha tidak bisa berencana dan mengambil keputusan. Jadi yang penting adalah dia bisa diprediksi,” jelasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka