26 Desember 2025
Beranda blog Halaman 42438

Masuk Kabinet Jokowi, Sutarman: Jenderal Aktif Mesti Mundur

Jakarta, Aktual.co — Dua jenderal Polri aktif disebut-sebut akan masuk ke dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kedua perwira tinggi polri itu yakni, Kepala Lembaga Pendidikan Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan , dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Syafrudin.
Santernya kabar tersebut, lantaran Budi pernah menjadi ajudan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Sedangkan Syafrudin pernah menjadi ajudan Jusuf Kalla saat menjabat Wapres periode 2004-2009 lalu.
Kapolri Jenderal Sutarman mengaku, belum mengetahui informasi dua anak buahnya akan masuk dalam bursa jajaran menteri kabinet Jokowi-JK. Kalau pun ada, lanjutnya, pemilihan kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
“Saya tidak tahu. Itu hak presiden menetapkan menteri-menterinya. Kita serahkan beliau mau pilih dari kalangan apa (karena) itu hak prerogatif beliau,” kata Kapolri usai memimpin apel konsolidasi pengamanan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden diPolda Metro Jaya, Rabu (22/10).
Jika memang benar, sambung Sutarman, maka orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu tak mungkin akan melarangnya. “Kalau kita larang kan tidak mungkin, itu tugas mulia,” tegasnya.
Bagaimana dengan statusnya di Polri kalau nanti diangkat menjadi menteri? Sutarman menjelaskan bahwa jenderal aktif harus mengundurkan diri dari kepolisian. “Tidak perlu izin, hanya mengundurkan diri. Kan tidak boleh rangkap jabatan,” ujarnya.
Lebih jauh mantan Kabareskrim itu mengapresiasi jikalau memang ada jenderal Polri yang dipercaya menjabat menteri oleh Jokowi-JK. Sebab, hal itu merupakan bukti Polri dipercaya masyarakat.
Sutarman menambahkan, bahwa ada empat nama perwira Polri telah disetor untuk dipilih menjadi ajudan Jokowi-JK. Mereka adalah Teddy Minahasa, Baharudin, Agus Widjayanto dan Listio Sigit.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby

PDIP Disebut Haus Kekuasaan

Jakarta, Aktual.co — Belum pernah ada dalam sejarah, partai pemenang pemilu seperti PDIP menjadi partai haus kekuasaan setelah kalah telak melawan Koalisi Merah Putih (KMP) dalam memperebutkan posisi ketua DPR dan MPR. 
Buktinya dalam komposisi kabinet Jokowi, kader PDIP, termasuk tim sukses dan tim transisi menguasai 70 persen kursi kabinet. Sementara partai-partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) harus siap kecewa karena pembagian jatah kursi tidak sesuai harapan, begitu pula kelompok profesional.
“Masuknya sejumlah kader PDIP, simpatisan, tim sukses dalam kabinet membuktikan partai berlambang banteng itu haus kekuasaan. Apalagi banyak kader PDIP yang tidak berpengalaman di pemerintahan,” pengamat politik Rusmin Effendy kepada wartawan di Jakarta, Rabu (22/10). 
“Kalau pun ada simpatisan, mereka justru bagian dari masa lalu yang terlibat pelbagai skandal korupsi yang sampai saat ini tak pernah tersentuh hukum. Karena itu, KPK jangan cuma berkoar-koar saja, tapi tak mampu memproses kasus mereka, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam kasus pengampunan penjahat BLBI,” ujarnya lagi.
Menurut Rusmin, saat ini terjadi tarik menarik kepentingan antar faksi-faksi antar partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam menempatkan kadernya masuk dalam jajaran kabinet. Sebagian besar partai koalisi terlihat kecewa karena pembagian jatah kursi kabinet tidak sesuai harapan. 
“Kondisi itu terlihat nyata dari beberapa pertemuan yang dilakukan Jokowi, sehingga dapat dipastikan kabinet yang terbentuk nanti dipastikan tidak sesuai dengan harapan rakyat. Kabinet Jokowi-JK lebih diwarnai politik transaksional kepentingan partai, tidak menempatkan figur yang pantas dan layak menduduki pos kementrian,” kata dia.
Dia menjelaskan, beberapa kader PDIP, simpatisan dan tim sukses yang mendominasi masuk bursa kabinet seperti Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Pramono Anung, Hasto Kristiyanto, Eva Kusuma Sundari, Teras Narang, Triawan Munaf, Niken Widiastuti, Ngurah Prayoga. Sedangkan Tim Transisi ada nama Andi Wijayanto, Anis Baswedan, dan Rini Sumarno, serta tim sukses Pilpres seperti Luhut Panjaitan, Budiman (mantan KSAD), Kuntoro Mangunsubroto, Sri Adiningsih, Komjen Budi Gunawan, Ryamizard Ryacudu, Darmin Nasution, Mirza Adityaswara, Agus Martowardojo, dan Khofifah Indar Parawansa. 
Sedangkan faksi Jusuf Kalla terdapat nama Hamid Awaludin, Syafruddin, Erwin Aksa. Kemudian partai KIH terdapat nama-nama Yuddy Chrisnandi (Hanura), Lukman Hakim Saefudin (PPP), Siti Nurbaya Bakar dan Ferry Mursyidan Baldan (Nasdem), Muhaimin Iskandar, Marwan Jafar, dan Rusdi Kirana (PKB). Beberapa nama dari kalangan profesional seperti Ignasius Jonan, Indroyono Soesilo, Yunus Husein, RJ Lino,  Retno Lestari,  Priansari Marsudi, Komarudin Hidayat, Jimly Asshiddiqie, Bambang Brojonegoro, Mas Achmad Santosa, Pratikno.
Menurut Rusmin, komposisi dan nama-nama kandidat menteri yang beredar di publik, juga bisa berubah-ubah, karena sampai saat ini belum ada kepastian. “Secara umum, nama-nama yang beredar tersebut sebagian besar belum memiliki kapabilitas dan integritas untuk menjabat sebagai menteri. Kalau sampai orang-orang yang tidak kredibel masuk, bukan tidak mungkin kabinet Jokowi tidak akan memenuhi harapan publik yang begitu besar,” ujarnya.

Jadi Menteri BUMN, IGJ: Rini Soemarno Lebih Berbahaya Daripada Koruptor

Jakarta, Aktual.co — Presiden Joko Widodo dalam pelantikan di depan MPR pada 20 Oktober menegaskan komitmennya untuk menjalankan Trisakti yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkrpribadian dalam kebudayaan.

“Langkah pertama untuk menjalankan komitmen Trisakti tercermin dari kabinet Jokowi JK. Kabinet yang dari sisi visi, misi dan orang orangnya berbeda sama sekali dengan apa yang disaksikan publik dalam kabinet SBY Boediono,” ujar Peneliti Indonesia For Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng kepada Aktual, Rabu (22/10).

Menurutnya, kabinet Jokowi-JK harus berisi orang orang yang secara tegas pro-rakyat dan menunjukkan sikap kritis dan anti pada dominasi asing dan membangun negara yang berdikari.

“Ringkasnya orang seperti Rini Sumarno memiliki rekam jejak buruk dan lebih mementingkan pasar neoliberalisme daripada ekonomi kerakyatan. Publik mengetahui persis track record orang ini yang berperan dalam penghancuran industri nasional dan memberi kontribusi besar terhadap dominasi perusahaan otomotif asing di Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, kabinet Jokowi tidak semata mata harus bebas dari korupsi, namun multak harus berisikan orang orang yang memiliki komitmen yang besar untuk menjalankan agenda kerakyatan dan melepaskan dirinya sama sekali dari rezim neoliberal dan tekanan rezim internasional.

“Pejabat menteri yang korup tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan seorang menteri yang memiliki keyakinan neoliberal. Seorang koruptor hanya mencuri anggaran negara. Tapi seorang neoliberal menjual negara kepada asing secara gelondongan,” tegasnya.

Menurutnya, jika seorang koruptor selalu diusulkan dihukum berat, maka seorang yang neoliberal yang terbukti berbakti, menggadaikan kedaulatan negara dan konstitusinya pada modal asing, pantas dihukum mati sebagai pengkhianat bangsa.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka

Polisi Cokok Dua Pelaku Pencurian Spion

Jakarta, Aktual.co —Kepala Kepolisian Sektro Tamansari, Jakarta Barat, AKBP Tri Suhartanto mengatakan kalau pihaknya jajaran kepolisian sektro Tamansari berhasil menciduk dua pelaku pencurian kaca spion sebuah mobil Harrier. Adalah Arvisco (22) dan Prastyo (19) yang berhasil ditangkap polisi saat beraksi mencongkel spion di Jalan Gajah Mada, Tamansari, Jakarta Barat.
“Saat sebelum belokan, mobil korban dipepet 4 orang dengan menggunakan 2 motor, di kanan dan kiri mobil,” ujarnya, Rabu (22/10).
Dikatakan Tri aksi para pelaku pencurian spion terbilang cepat. Pasalnya para pelaku hanya memerlukan waktu 20 detik spion tersebut berpindah tangan.  Melihat para pelaku beraksi, sontak pemilik mobil langsung berteriak meminta tolong. “Korban keluar dari mobil dan berteriak,” lanjutnya,
Beruntung warga yang mendengar teriakan korban langsung menangkap dan menghakimi para pelaku. Pelaku sendiri yang ketakutan meninggalkan barang bukti spion hasil kejahatannya di lokasi.  “Usai mencopot spion keduanya lari dan meninggalkan barang bukti di lokasi,” kata dia.
Guna mempertanggungjawabkan perbuatannya kini kedua tersangka terpaksa harus mendekam di hotel prodeo Tamansari Jakarta Barat.
“Akan dijerat pasal 365 KUHPidana dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun penjara,” tukasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid

Sekali Jokowi Salah Tempatkan Orang, Bencana Kembali Menerjang Indonesia

Tak pelak lagi, rasa ingin tahu publik tentang siapa saja yang bakal menjadi menteri kian menggelegak sejak Senin kemarin. Pada senin itulah Jokowi  secara resmi diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7.
Keingintahuan publik tentang siapa saja yang bakal duduk sebagai menteri bisa dipahami. Buat sebagian besar rakyat bawah, bisa jadi hal ini tidak penting betul. Tapi buat pengusaha, tentu amat berarti. Dan, bagi para aktivis yang sudah berkeringat mengantarkan Jokowi ke Istana, soal ini menjadi lebih penting lagi.
Pasalnya, sekali Jokowi salah menempatkan orang, maka bencana kembali menerjang Indonesia. Ya, para aktivis itu benar-benar cemas, jangan sampai kabinet, khususnya tim ekonomi, bakal diisi figur-figur pengabdi sekaligus pejuang neolib. 
Beberapa nama yang mendapat sorotan kencang di antaranya adalah Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Kuntoro Mangkusubroto. Di luar mereka ada sejumlah nama lain yang juga kerap disebut sebagai agen neolib. Mereka di antaranya Darmin Nasution dan Chairul Tanjung.
Kabarnya, Jokowi akan mengumumkannya pada Rabu, 22 Oktober 2014.  ‘Kepastian’ pengumuman susunan kabinet itu ‘datang’ langsung dari Jokowi. Kemarin mantan Gubernur DKI itu menyatakan finalisasi kabinet dibahas sampai jam 3 dini hari.
Ani dan Darmin terlempar
Kendati begitu, selalu saja ada ‘bocoran’ informasi yang merembes ke luar. Sumber di lingkaran dalam Jokowi mengatakan, Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, terlempar keluar dari calon menteri. Padahal, sesaat setelah Jokowi mengucapkan sumpahnya, Puan Maharani kepada wartawan masih memastikan, bahwa nama SMI masih ada dalam daftar calon menteri. Ani juga menjadi salah satu nama yang disodorkan Jokowi ke KPK dan PPATK untuk ditelusuri integritasnya.
Kalau sumber lingkaran dalam Jokowi itu benar,  tentu saja ini menjadi kabar gembira yang amat melegakan para pejuang ekonomi konstitusi. Maklum, penolakan Ani karena reputasinya sebagai pengabdi dan pejuang neolib termasuk yang paling kencang disuarakan.
Dari dalam juga merembes informasi berharga lain. Darmin Nasution, mantan Gubernur BI dan Dirjen Pajak itu, juga terlempar. Sekali lagi, jika kabar ini benar, maka lagi-lagi sangat melegakan.
Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadingoro menyebut Darmin sebagai mafia pajak berkategori big fish. Darmin terlibat dalam sejumlah kasus pajak. Bahkan Sasmito menilai kasus penggelapan pajak di era Darmin jauh  lebih besar dari megaskandal Centurygate yang ‘hanya’ senilai Rp6,7 triliun. Pajak yang digelapkan di era Darmin kira-kira setara dengan 10x nilai dana talangan yang dikucurkan pada Bank Century. Darmin pernah dilaporkan ke KPK dalam kasus-kasus itu. Sekali lagi, syukur alhamdulillah jika Jokowi benar-benar mendepak Darmin dari daftar calon menterinya. Semoga.
Kuntoro, antek asing
Namun di tengah ketidakpastian informasi seperti sekarang, juga berhembus kabar bahwa Kuntoro bakal didapuk sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Nomenklatur kementerian ini, konon, akan diubah. Tapi, yang merisaukan, ya itu tadi, munculnya nama Kuntoro sebagai kandidat kuat.
Gosip ini benar-benar membuat cemas. Pasalnya, rekam jejak Kuntoro sejauh ini biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Padahal, karirnya di pemerintahan terbilang panjang dan cukup lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum  (1993-1997), dua kali Menteri Pertambangan, yaitu pada  Kabinet Pembangunan VII (1998) dan di Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005).
Tapi, yang membuat para pejuang ekonomi kerakyatan berbasis konstitusi ini cemas adalah rekam jejak Kuntoro yang sarat dengan perannya sebagai antek kepentingan asing. Sekadar mengingatkan saja, Kuntoro adalah tokoh penting di balik UU No. 22/2001 tentang Migas yang sangat menguntungkan asing dan sangat merugikan Indonesia. Bukan itu saja, lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.
Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.
Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.
Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menyebut Kuntoro  pernah terkena masalah hokum. Saat menjadi  Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Kepulauan Nias, dia diektahui menarik dana APBN sebesar Rp 2,21 triliun dengan cacat hukum. Dana itu dikelolanya melalui mekanisme di luar anggaran (off-budget).CT, sepi prestasi
Nama lain yang tiba-tiba muncul adalah Chairul Tanjung alias CT. Bos kelompok bisnis CT Corp yang menjadi Menko Perekonomian di ujung pemerintahan SBY. Pada titik ini, tidak mengherankan bila berhembus kabar, bahwa muculnya CT sebagai kandidat menteri, merupakan hasil kompromi Jokowi-Koalisi Merah Putih (KMP). 
Dugaan itu seperti menemukan kebenarannya setelah CT Selasa sore (21/10) datang ke Istana Merdeka memenuhi panggilan Jokowi. Chairul disebut-sebut akan diplot jadi menteri bidang ekonomi.
Jika kabar ini benar, tentu saja sangat disayangkan. Seharusnya Jokowi tidak buru-buru memilih Chairul sebagai menteri. Menempatkan CT di kabinet ustru bakal mengganggu dan membebani pemerintahan. Paling tidak, sebagai pengusaha potensi terjadinya conflict of interest sangat tinggi. 
Lagi pula, satu hal yang harus dicatat, selama menjadi Menko Perekonomian di kabinet SBY-Boediono, prestasinya biasa-biasa saja. Dia sepi dari prestasi. Tidak ada kebijakan yang terobosan berarti yang ditelurkannya.
Terlepas dari itu semua, satu hal yang harus dilakukan Jokowi dalam menyusun kabinetnya. Dia harus terus menggenggam kepercayaan rakyat yang begitu besar dengan erat. Apa yang ditunjukkan rakyat sepanjang 20 Oktober kemarin, adalah bukti nyata besarnya dukungan sekaligus harapan rakyat kepadanya. 
Itulah sebabnya dia harus berkoalisi dengan rakyat. Jokowi tidak boleh berkoalisi dengan elit. Caranya, pilihnya orang-orang yang tidak menjadi pelayan kepentingan asing. Menteri-menterinya harus punya kemampuan dalam memahami dan memecahkan masalah. Jokowi memerlukan menteri-menteri yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menjadikan jabatannya untuk mengamankan kepentingan diri dan para majikannya. Itu saja! 
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Kalau Jokowi Pilih CT, Tidak Ada Perubahan Apapun

Jakarta, Aktual.co — Kemarin sore (21/10) terlihat Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian di era SBY, Chaerul Tandjung (CT) menghadap Presiden Jokowi di Istana Negara. Spekulasi pun kemudian berkembang, bahwa CT akan lanjut memegang jabatan Menko Perekonomian di Kabinet Jokowi mendatang. Menyikapi hal ini, peneliti LSP Gede Sandra memiliki pandangan kritis.
“Jika benar CT jadi Menko, berarti tidak ada perubahan dalam kabinet Jokowi dibandingkan dari kabinet SBY. Seharusnya Jokowi paham bahwa CT sebagai pengusaha tidak lah begitu paham terhadap soal-soal makro ekonomi. Terbukti prestasi CT sebagai Menko sama sekali tidak istimewa, karena faktanya fundamental ekonomi Indonesia terus merosot selama dipimpin taipan ini,” ujarnya kepada Aktual.co, Rabu (22/10).
Untuk menggambarkan merosotnya fundamental ekonomi selama kepemimpinan Menko CT (Mei-Oktober 2014), Gede mengambil contoh soal neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Pada bulan Mei 2014, saat CT pertama kali diangkat jadi Menko, neraca perdagangan tercatat masih surplus sebesar 69,9 juta dollar AS. Sebulan menjabat, pada Juni 2014, neraca sudah defisit ke 0,3 miliar dollar AS. Tiga bulan menjabat, pada Agustus 2014, neraca  kembali defisit sebesar 318 juta dollar AS.
Sedangkan untuk transaksi berjalan, pada kuartal ke II, saat CT baru sebulan menjabat Menko, sudah tercatat defisit sebesar 9 miliar dollar AS. Kemudian, pada kuartal ke III, saat CT sudah 4 bulan menjabat Menko, transaksi berjalan ternyata masih defisit di angka 8 miliar dollar AS.
“Berbagai defisit inilah yang membuat kurs rupiah terhadap dollar tidak kunjung menguat selama CT menjabat Menko, terus berada di kisaran Rp12 ribu/dollar AS. Akibatnya perekonomian Indonesia selalu berada pada zona berbahaya atau lampu kuning. Bahkan, bukan tidak mungkin bila CT kembali menjadi Menko di Kabinet Jokowi, pada bulan Desember 2014 kurs dapat tembus ke Rp13 ribu/dollar AS.”
Sehingga, menurut lulusan magister ilmu ekonomi UI ini, saat itu terjadi (kurs tembus Rp 13 ribu/dollar AS) perekonomian Indonesia benar-benar sudah lampu merah atau masuk ke zona gawat darurat. Bukan tidak mungkin, saat yang bertepatan dengan 100 hari pemerintahannya itu semuanya telah menjadi begitu terlambat bagi Jokowi. 

Berita Lain